29 Januari 2021, tepat 6 tahun Mami – ibu saya meninggal dunia. Time flies, betul – betul tidak terasa. Rasanya baru kemarin saya menerima whatsapp dari kakak perempuan saya di pagi hari : Dek, Mami meninggal barusan.
Saat itu saya tidak menangis, yang terfikir hanyalah bagaimana caranya bisa cepat pulang ke Bandung, memberi tahu suami dan anak, membeli tiket pesawat untuk kami bertiga, meminta ijin ke sekolah, mengabari teman kerja dan boss, mencari orang yang bisa menggantikan saya untuk presentasi ke partner hari itu. Pagi dan hari yang hectic, mungkin itu sebabnya saya tidak sempat menangis.
Kami tiba di Bandung sore hari pukul 6, dan Mami sudah dimakamkan tadi pagi. Kakak-kakak saya sebelumnya bertanya dan meminta ijin agar Mami bisa segera dimakamkan tanpa menunggu saya datang, InshaAllah itu yang terbaik untuk beliau kan.
Saya baru bisa datang ke makam Mami keesokan harinya, lagi – lagi tidak menangis. Tapi satu hal yang pasti saya menolak membicarakan kepergian Mami dengan siapapun. Saya pun tidak terfikir untuk menuliskan status di sosial media tentang hal ini.
Mami sudah pergi, adakalanya saya merasa bersyukur, Mami sudah tidak sakit lagi, Mami saya meninggal di RS, saat tidur pagi hari. Papi saya waktu itu menemani tidur di RS dan menyadari Mami meninggal selepas sholat Shubuh.
Bertahun-tahun Mami sakit, hingga 3 tahun terakhir Mami hanya bisa berbaring saja di rumah. Selama itu pula Mami menolak untuk pergi ke dokter apalagi ke RS. Berbagai terapi alternative sudah kami coba, mulai dari yang sederhana seperti pijat dan minum obat herbal sampai yang tidak masuk akal seperti kepala di gergaji tanpa bius. Mami sudah mengalami itu semua.
Satu hal yang saya dan kakak-kakak sayangkan adalah karena kami tidak cukup membahagiakan Mami. Saya hanya mengingat hidup Mami sangat susah dan terus-terusan bekerja keras. Dulu keluarga kami berjualan kue-kue, dibuat di malam hari, kemudian pagi harinya dikirim ke toko-toko dan pasar. Kami tidak punya pegawai waktu itu, jadi memang hanya kami sekeluarga yang mempersiapkan bahan, memasak dan kakak laki-laki saya akan mengantar ke pasar pagi -pagi, sebelum Shubuh.
Satu hal yang saya ingat jelas, walaupun sangat sibuk Mami selalu ada untuk kami semua. Saya tidak tahu kapan Mami tidur atau beristirahat, malam tidak tidur karena membuat kue, pagi hari ke pasar untuk berbelanja bahan berjualan, pulang ke rumah untuk memasak, mencuci baju, membersihkan rumah dan lainnya. Kami jarang sekali jajan karena selalu ada makanan di rumah. Baju bersih pun selalu ada. Berkali-kali saya dan kakak berdiskusi : kapan Mami beristirahat ? Mami baru bisa mulai tenang ketika kami semua selesai sekolah, bekerja dan menikah. Sayangnya saat itu Mami mulai sakit-sakitan. 20 tahun lebih hidup dalam kondisi seperti ini, ngga heran sebetulnya kalau Mami jatuh sakit.
Dan entah kenapa belakangan ini saya merasa sangat menyesal, lagi-lagi saya merasa saya tidak cukup membahagiakan Mami. Tapi saya bersyukur juga Mami sempat berangkat Haji di tahun 2009, walaupun saat itu Mami sudah mulai sakit-sakitan, alhamdulillah perjalanan Haji Mami lancar.
Cici-anak saya, satu-satunya cucu Mami yang ditunggui kelahirannya. Beberapa hari sebelum Cici lahir Mami sudah datang dari Bandung, menemani saya melahirkan Cici. Mami sempat juga tinggal agak lama di rumah saya, walaupun sudah tidak mampu merawat Cici tapi saya bersyukur Mami bisa melihat Cici tumbuh besar.
Mami memang bukan Ibu yang sempurna, ya Mami super galak, super strict dan kadang-kadang sangat kaku. Tapi saya tahu di balik itu semua Mami selalu menjadikan kami anak-anaknya sebagai nomor satu. Saya ingat Mami jarang sekali membeli baju baru atau sepatu, tas, make up seperti ibu-ibu lainnya. Uang hasil Mami berjualan kue selalu habis atau bahkan tidak cukup untuk biaya kami sekolah, makan dan pengeluaran sehari-hari lainnya.
Tahun 2001, pertama kalinya artikel naik gunung saya dimuat di koran Tempo edisi hari Minggu. Honornya cukup besar, 1 juta rupiah untuk satu artikel. Saat itulah saya baru bisa sedikit membahagiakan Mami, saya mengajak Mami ke Pasar Baru dan membelikan kain untuk membuat baju baru.
Mami perempuan kuat, pernah mengeluh tapi tidak berhenti, tidak pernah menyerah, selalu bergerak maju. Alhamdulillah cita-cita terbesar Mami untuk mengantar semua anak-anaknya menjadi sarjana tercapai.
Terimakasih Mami, semoga Allah berikan tempat terbaik. InshaAllah nanti kita berjumpa lagi.
Pingback: Pelajaran Hidup di Tahun 2021 - sereleaungu
Pingback: Surat untuk Mami # 1 - sereleaungu
Pingback: Tak Pernah Terucapkan Kata-Kata Cinta - sereleaungu