Indonesia, Wanderlust
comments 21

[Baduy] dan Tujuan Kami Hanyalah Kembali dengan Selamat bersama Pak Mamad

Perjalanan dilanjutkan, pukul 11 siang, perut kenyang, angin sepoi – sepoi, mata mulai berat. Untuk meninggalkan Gajeboh kami harus menyebrangi Sungai Cibaduy, melewati jembatan bambu yang kokoh, walaupun hanya diikat tali ijuk. Selepas sungai jalurnya menyenangkan, menyusuri tepi sungai, jalan datar atau kadang menurun.

Jembatan Penghubung Gajeboh dan Cicakal Girang

Semangat 45, saya masih menggendong Cici..hingga tiba – tiba panggilan alam datang dan saya meminta Helmy untuk bergantian menggendong Cici. Akhirnya Cici berpindah tangan, saya dan Helmy bertukaran tas. Dan siapa sangka itu adalah keputusan terbaik yang saya buat selama perjalanan ini.

Kami kembali berjalan, menyebrangi anak sungai, melewati sebuah perkampungan kecil – Cicakal Girang dan ternyata di depan sana ada tanjakan tak berujung. Benar tak berujung, sedangkan matahari tepat berada di atas kepala. Pak Mamad sudah jauh depan, disusul Cep Dahlan, Helmy dan Cici sedangkan saya ada di paling belakang, meniti langkah sambil sesekali menikmati pemandangan yang indah. Pemandangan indah tak boleh dilewatkan bukan.

Untunglah di depan sana rombongan sudah menunggu, akhirnya bisa juga duduk dan memanjangkan kaki. Cici asik bermain sendiri sambil sesekali tiduran di singgasana ranselnya. Pak Mamad mulai membicarakan kemungkinan kami akan kemalaman di jalan tanpa senter. Perjalanan ke  Cibeo masih 2/3 jalan lagi. Bila kami terus berjalan maka kami akan tiba sekitar pukul 2 siang, beristirahat sebentar dan kembali ke Gajeboh. Paling cepat kami akan tiba di Gajeboh menjelang Maghrib. Tapi ada saja kemungkinan hujan lebat dan kami harus berteduh, kami akan kemalaman tanpa senter.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul akhirnya kami memutuskan kembali berjalan di tanjakan tak berujung itu. Dan kembali beristirahat tak lama kemudian. Hingga tiba – tiba ada godaan iseng mengajak tidur siang saja di Cicakal Girang. Ha ha ini tak usah disebut nama pencetusnya. Yang pasti bukan Cici.

Tetapi setelah menimbang – nimbang kami memutuskan kembali berjalan. Sejak saat itu tujuan kami bertambah jelas, kembali dengan selamat bersama Pak Mamad. Untuk itu kami kembali bertukar peran, Cici digendong Pak Mamad. Untungnya Tuan Putri sangat kooperatif, dia tidak rewel walau berganti – ganti penggendong. Untungnya lagi di depan sana ada turunan yang indah sekali, kami mendekati Cipaler, daerah perkampungan Baduy Luar yang lain.

Kali ini kami tidak mampir di Cipaler, secepat mungkin kami ingin tiba di Cibeo. Hutan yang kami lewati mulai rapat, jalanan masih menurun, beberapa tempat licin. Saya masih di paling belakang. Seperti biasa menikmati pemandangan alam yang indah. Helmy dan yang lainnya sudah tidak kelihatan, hingga tiba – tiba …ah tidakkkk saya rupanya kepleset, masuk sungai, kepentok batu dan berguling 2 – 3 kali…alhamdulillah masih bisa bangun dengan selamat, walaupun badan kotor berlumpur. Di depan sana para pria itu sudah tidak terlihat. Saya bergegas melanjutkan perjalanan, menyebrangi anak sungai lagi dan berjumpa dengan ularrrrrrrrrrrr. Yap lengkaplah perjalanan saya hari ini, tapi saya bersyukur, gara – gara si ular saya jadi berlari mengejar rombongan.

Ternyata para pria dan Tuan Putri telah tiba di sebrang Sungai Cibaduy. Kami kembali harus melewati jembatan bambu yang kokoh. Inilah batas antara wilayah Baduy Luar dan Baduy Dalam. Saya ingat 14 tahun yang lalu pernah berenang – renang di sungai ini, dan hingga kini airnya tetap bersih. Disini semua larangan sesuai adat masyarakat Baduy Dalam berlaku. Tidak diperkenankan mengambil foto, menggunakan elektronik, memakai sabun/odol dan jauh di dalam hati saya tentunya semua pengunjung harus bersikap sopan dan tidak merusak.

Setelah beristirahat sejenak di tepi sungai kembali kami melanjutkan perjalanan. Menurut Pak Mamad, di depan kami kembali ada tanjakan tak berujung yang lebih berat dari tanjakan di awal. Penuh semangat kami kembali berjalan, di kejauhan awan hitam mulai bergerak. Saya tetap setia di paling belakang, menikmati Sungai Cibaduy yang mengalir indah. Tanjakannya tak usahlah dibahas ha ha.

Di puncak punggungan kami beristirahat di dekat rumah ladang orang Baduy Dalam. Dua orang anak kecil asik bermain sendiri. Sang Ibu mungkin sedang ke ladang. Selanjutnya kami kembali menemukan rumah ladang lainnya. Beberapa anak kecil usia balita asik bermain, yang lelaki membawa golok di pinggang. Taksiran saya umurnya tak lebih dari 5 tahun. Di rumah ladang ketiga kembali saya bertemu anak kecil lainnya, asik bermain sendiri. Saya terkagum – kagum, di usia belia mereka telah sangat mandiri.

Jalanan terus menurun, dan di dalam hati saya mengingatnya sebagai rejeki yang harus diingat ketika kami nanti berjalan pulang, tanjakan panjang. Masih ada lagi rumah ladang lainnya, dan disini kami duduk beristirahat sambil mengobrol, dua wanita dewasa, 1 balita dan 1 bayi montok berusia 9 bulan. Sang Ibu kebingungan melihat Cici yang minum susu ultra dalam kemasan.

“Geuningan beda minumna, di dieu mah ngan nginum ieu bae”..sahut si Ibu sambil menunjuk dadanya. Wow ternyata Ibu ini Pro ASI juga, akhirnya saya jelaskan bahwa Cici juga anak ASI lho Bu. Kami mengobrol beberapa hal dan ujungnya si Ibu menawarkan tempat istirahat di rumahnya. Kebaikan hati yang tulus.

Pak Mamad kembali memimpin di depan. Saya kembali di belakang bersama seorang anak lelaki kecil yang membawa burung dalam sangkar. Kami melewati leuit (lumbung), menyebrangi sungai dan alhamdulillah, akhirnya jam 2 siang kami tiba di Cibeo, perkampungan Baduy Dalam.

Sepertinya tidak ada yang berubah. Samar dalam ingatan saya, suasananya masih sama seperti 14 tahun yang lalu. Jalan setapak kecil berbatu, rumah panggung berbilik bambu di kiri dan kanan. Beberapa orang nampak duduk di balai – balai, menyambut kedatangan kami.

Pak Mamad sudah duduk di depan rumah Pak Sardi. Helmy, Cici dan Cep Dahlan juga sudah melepas ransel-ransel mereka. Beberapa anak kecil duduk memandangi kami. Tuan Putri riang bermain ayam dan mulai berbaur dengan anak – anak Cibeo, berbagi biskuit dan bermain.

Pak Sardi, beliau adalah salah seorang penduduk Baduy Dalam yang cukup terbuka pada pendatang. Rumahnya kerap dijadikan tempat menginap, beberapa kali dalam setahun beliau saba kota ke Jakarta, berjalan kaki, 3 hari perjalanan. Saya duduk mengobrol dengan seorang Ibu, bahasa Indonesianya cukup lancar dan orangnya ramah. Dua anak kecil bermain di sekitarnya. Si Ibu punya anak 6 orang, anak paling besarnya baru saja menikah, sedangkan anak paling kecilnya masih berusia 2 tahun.

Nampaknya rata – rata pasangan di Baduy memiliki anak banyak. Ibu Kasinah punya anak 3 orang, anak paling besarnya usia 20-an sedangkan yang paling kecil berusia 7 tahun. Beberapa kali saya menemukan juga anak usia balita menggendong adiknya yang masih bayi. Selain itu sepertinya mereka terbiasa menikah di usia muda, seperti anak Ibu di Cibeo tadi.

Menurut informasi dari Pak Sardi, jumlah rumah di Cibeo ada 96 rumah, sedangkan saat ini penduduknya ada sekitar 500 orang. Cikertawana juga kurang lebih sama komposisinya. Sedangkan Cikeusik lebih sedikit. Mata pencaharian utama mereka adalah dari mengumpulkan hasil hutan dan berladang. Hasilnya mereka pakai sendiri, ada juga yang dijual ke Ciboleger.

Mereka hidup sangat sederhana, hanya ada dua warna dalam kehidupan masyarakat Baduy Dalam, hitam dan putih. Pakaian sehari – hari kaum pria adalah baju kampret beserta celananya. Kaum wanitanya hanya berkain samping. Tanpa alas kaki.

Rumah dibuat tanpa paku, hanya tali pengikat dari rotan. Tanpa perabotan. Satu – satunya barang “mewah” dalam kehidupan mereka adalah perangkat makan dari porselin cina. Ini yang bikin saya penasaran, darimana ya mereka mendapatkan porselin cina tersebut ?

Makanan sehari – hari mereka hanyalah nasi, garam dan “sayur hasil hutan”. Ikan asin bisa jadi menjadi barang mewah yang harus mereka beli di Ciboleger. Kaum pria tidak merokok, mereka dan juga kaum wanita hanya nyeupah saja, alias nginang dengan daun sirih.

Singkat sekali kunjungan saya di Baduy Dalam. Padahal masih banyak yang ingin saya ketahui. Kami tidak sempat pula bertemu dengan Puun. Beliau sedang pergi berburu Kijang ke hutan. Jam 3 sore, saya masih enggan bergerak. Cici masih asik bermain. Tapi mau tidak mau kami harus segera pergi bila tidak ingin kemalaman di jalan.

bersambung….nu ieu kangge urang Ciboleger bae

21 Comments

  1. Pingback: [Baduy] Nu Ieu Mah Keur Urang Ciboleger Bae - sereleaungu

  2. Pingback: [Baduy] 14 Tahun Telah Berlalu - sereleaungu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *