Kami tidak pernah membayangkan akan berada di tengah – tengah mereka, berjabat tangan, dan duduk bersama untuk berbincang – bincang sebentar. Sungguh sebelumnya kami tidak mengenal satu sama lain, terpisahkan jarak dan mungkin kami tidak akan pernah bertemu. Hingga sebuah gunung di pusat pulau Jawa itu mempertemukan kami dengan mereka, para pengungsi letusan Gunung Merapi.
Satu hari yang singkat bersama mereka, tapi kami menyadari bahwa bagi mereka letusan Gunung Merapi bukanlah bencana. Bagaimana tidak, Gunung Merapi selama ini telah berbaik hati, memberikan tanah pertanian yang subur, hawa yang sejuk di desa – desa di kaki gunung, dan juga bentangan panorama alam yang menakjubkan. Merapi adalah anugerah.
Letusan Gunung Merapi di tahun 2010 memang sangat dahsyat, desa – desa yang sebelumnya berada dalam zona aman kali ini harus ikut merasakan semburan awan panas. Dalam waktu singkat kehidupan mereka yang sederhana berubah, orang tua dan anak terpisah, kehilangan tempat berteduh hingga panen raya yang tinggal mimpi.
Muntilan yang biasanya sejuk dan nyaman menjadi kota mati. Sejauh mata memandang kami hanya melihat tumpukan debu tebal, material volkanik, hingga belasan posko dadakan yang menyediakan tempat berteduh sementara bagi para pengungsi.
Tetapi sungguh Tuhan memang sedang tersenyum saat menciptakan negeri ini. Diantara segala keterbatasan tersebut mereka tetap tersenyum. Dengan ringan mereka bercerita mengenai “musibah” yang mereka alami.
Habis semua Mbak, ndak nyisa, ndak ada sama sekali. Tahun ini ga bakalan ada salak, wong semua yang mau panen abis. Yang mau panen cabe abis, yang salak abis, semua abis Mbak.
Dan lagi – lagi mereka menunjukkan keluhuran budi yang sulit kita temui selama ini. Dalam kondisi seperti itu, kami melihat wajah wajah optimis, tabah dan tegar. Mereka dengan ramah menyambut kami, bahkan menawarkan kami ikut makan siang bersama, yang terpaksa kami tolak secara halus, karena kami yakin mereka jauh lebih membutuhkannya di banding kami. Menu sederhana yang menjadi istimewa karena dimasak dengan penuh rasa syukur di dapur umum yg tersedia : nasi putih, bakwan, tumis tahu cabai hijau dan sayur labu.
Anak – anak dalam pengungsian ini masih juga ramai bermain seakan tidak sedang dilanda bencana. Anak – anak yang bahagia. Entahlah mengapa bisa begitu. Kami datang membawa sedikit bantuan untuk mereka, tapi sebenarnya merekalah yang memberi bantuan untuk kami : mengajari kami bagaimana menghadapi kehidupan.
Di akhir perjalanan singkat ini kami sangat ingin menjadi seperti mereka yang tabah menghadapi hidup. Kami tidak ingin menjadi orang – orang yang kalah terhadap riak kehidupan. Kami ingin tetap tersenyum tabah dan kembali bangkit ketika panen salak kami gagal total,ketika rumah hasil jerih payah belasan tahun hancur bahkan ketika hanya sedikit sekali harapan di masa depan.
Doa kami selalu untuk saudara kami di pengungsian, tetaplah tabah dan semangat menjalani hari – hari esok.
# A journey with Helmy, Cici, Dayak, Yuyu, Anis, Ilo and brothers from KMPA Ganesha ITB, November 2010