Indonesia, Wanderlust
Leave a comment

[Baduy] 14 Tahun Telah Berlalu

Akhirnya jadi juga, padahal Kamis malam kemarin saya sempat bilang ke suami : “Ga usah jadi ke Baduy lah ya”. Saya berniat membatalkan rencana tanpa alasan yang jelas, padahal  sudah mengajak teman, sudah cerita ke teman – teman, dsb..padahal di lubuk hati paling dalam tersimpan alasan itu : kuat ngga ya jalan nanjak 

Jumat, 14 Mei 2011

Kesibukan dimulai dari pagi, pergi ke pasar, packing yang dilanjutkan dengan bersih-bersih rumah dan ketika teman kami – Cep Dahlan datang tentunya kami belum siap. Tetapi akhirnya setelah berhasil memenuhi bak mobil dengan 1 ransel 75 L, 2 ransel 25 L, cool box besar dan beberapa kantong plastik belanjaan, kami  berangkat jam 3 sore. Jalur tol dalam kota padat merayap, akhir pekan, menjelang long weekend, tidak usah mengeluh lagi. Yah begitulah, untung Cici di jalan sangat manis. Sedangkan Cep Dahlan terkagum – kagum dengan kesibukan ibu kota.

Menjelang jam 5.30 sore kami keluar tol Balaraja Barat. Papan petunjuk di pintu tol menyebutkan Rangkasbitung hanya 25 km lagi. Ini sih hanya dari rumah ke kantor, seru saya. Tetapi ternyata 25 km itu menyesatkan, setelah 1 jam kami malah menemukan papan petunjuk lain. Rangkasbitung 20 km. Jalanan rusak dan macet. Cici baik hati memilih tidur, sedangkan saya terkantuk – kantuk di samping Pak Supir yang sibuk bekerja.

Tiba – tiba …”Mau makan apa ?” Saya ternyata ketiduran, Cici masih tidur dan mobil sudah berhenti di depan tukang pecel lele. Tidak berapa lama car service datang : nasi putih, lele goreng plus tahu tempe dan sambal. Enaaaaaaaaak. Sambelnya apalagi. Ditambah lagi bapak pedagang Pecel Lele sangat informatif. Beliau menunjukkan arah ke Ciboleger, plus menyarankan alternatif jalan pulang nanti, via Jasinga. Sekitar jam 7.30 kami selesai makan dan segera meluncur ke Ciboleger, desa terakhir sebelum perkampungan Baduy. Jalan menuju Ciboleger cukup baik, dan petunjuknya cukup jelas : Wisata Budaya Baduy. Dan lagi – lagi karena ketiduran tiba – tiba jam 9 malam saya sudah tiba di Ciboleger.

Rekaman di kepala saya mengenai Ciboleger di tahun 1997 sangat berbeda dengan Ciboleger 2011, 14 tahun telah berlalu. Seperti tebakan kami, disini telah berdiri gagah Alfa Mart Ciboleger. Kedatangan kami langsung disambut para pemuda yang menawarkan jasa penginapan, dan yang lebih mengejutkan ketika keluar WC umum saya langsung dikagetkan oleh anak perempuan kecil yang meminta uang. Dan malam itu saya dikuntit si bocah hingga ke mobil untuk mengambil uang 2000-nya. Terkesan tidak menyenangkan ya. Padahal tanpa dikuntitpun saya akan bayar, tidak akan kabur. Ah sudahlah, memang itu hak si anak.

Malam kian larut dan akhirnya kami memutuskan untuk menginap di lantai atas sebuah warung kerajinan khas Baduy di Ciboleger. Sederhana saja, sebuah ruangan dengan kasur busa dan karpet di lantai, tak lupa sebuah “balkon” dengan village  view. Cici terbangun, segar bugar, dan asik bermain dengan bayangannya. Sedangkan kami sudah kelelahan dan ingin tidur. Good night Cici.


Sabtu, 15 Mei 2011

Perhatian – perhatian, bagi yang belum foto bersama segera membentuk barisan di depan bis masing – masing !

Dan di luar sangat ramai sekali, 5 buah bis, dan ratusan anak SMA baru saja turun dari kampung. Mereka sibuk berfoto bersama dan berbelanja. Ternyata mereka adalah rombongan SMA dari Pandeglang yang baru saja melaksanakan karya wisata di Baduy, menginap beberapa hari di perkampungan Baduy.

Kami bergegas mandi, packing dan bersiap berangkat. Pembagian tugas sudah jelas, saya akan menggendong Cici, sedangkan Helmy dan Cep Dahlan masing – masing membawa ransel 25 L. Tersisa ransel 75 L berisi ikan asin, beras, garam, minyak, mie instan, dll yang belum jelas siapa pemiliknya.

Tanpa dikomando kembali beberapa pemuda semalam mengerumuni kami. Mereka menawarkan jasa porter plus guide. Sebetulnya kami memang berencana memakai porter, tetapi niat itu urung melihat serbuan para pemuda Ciboleger pagi itu.

Akhirnya kami menolak dan memutuskan akan membawa semua barang itu sendiri, semampu kami. Semangat 45 dan kami mulai berjalan menaiki tangga ke Kadu Ketuk. Nah disini kami harus melapor dulu kepada Jaro, sekaligus meminta ijin dan mengisi buku tamu. Seorang pemuda terus mengikuti kami dan menunjukkan jalan ke rumah Jaro.
Rumah Jaro cukup besar dan balai – balainya luas, kami mengisi buku tamu, Pak Jaro sibuk menerima telpon. Sempat berbincang dengan kami, dan mengatakan bahwa di Cibeo (Baduy Dalam) saat ini sedang ada pernikahan sehingga kami tidak bisa menginap, tetapi kami boleh berkunjung saja. Cici asik bermain, punya teman baru.

Cici dan teman baru di Kadu Ketuk

Tidak masalah, kami memang berniat menginap di Gajeboh saja, salah satu desa Baduy Luar. Jaro kembali sibuk dengan telpon genggamnya dan pemuda pengikut kami berbisik – bisik menyuruh kami menaruh sedikit uang di buku tamu.

Perjalanan dimulai. Kami mulai berjalan meninggalkan desa dan saya kebingungan dengan pemuda yang sedari tadi menguntit kami. Ternyata beliau menawarkan jasa untuk menemani ke Baduy Dalam. Tarifnya saridona bae. Deal, pemuda bernama Pak Mamad itu akan membantu membawakan ransel 75L kami sekaligus menjadi penunjuk jalan ke Cibeo. Nampaknya beliau orang baik walaupun terkesan pendiam.

Jam 8.30 kami mulai berjalan meninggalkan Kadu Ketuk. Tujuan pertama adalah Gajeboh, perkampungan Baduy Luar yang terletak 5 km dari Kadu Ketuk. Rencananya kami akan meninggalkan sebagian barang di sini dan melanjutkan perjalanan ke Cibeo.

meninggalkan Kadu Ketuk menuju Gajeboh

Jalurnya masih menyenangkan, keluar kampung, menyebrang sungai, menanjak sebentar dan turun menuju Balingbing. Di kiri – kanan jalan kami menemukan beberapa leuit alias lumbung padi. Leuit digunakan sebagai tempat menyimpan hasil tani. Berdinding papan dan beratapkan ijuk. Umumnya diletakkan agak jauh dari rumah, di luar kampung.

Leuit di dekat Kadu Ketuk

Kami sempat beristirahat sebentar di Balingbing, kampung kecil yang hanya terdiri dari beberapa rumah. Di perjalanan kami sempat pula bertemu dengan beberapa orang Baduy Dalam yang sedang memandu tamu. Kami sempatkan berbincang – bincang sejenak dan memesan madu hutan untuk hari Minggu

orang Baduy Dalam, berpakaian dan memakai ikat kepala berwarna putih

Kami masih harus menyebrangi sungai kembali dan akhirnya tibalah kami di Gajeboh, jam 9.30. Ternyata akhir pekan kemarin sangat padat. Hampir semua rumah sudah dipesan orang yang akan menginap. Untung ada Pak Mamad. Setelah kasak kusuk sebentar beliau menemukan sebuah rumah untuk kami, rumah keluarga Kasinah.

Ketika kami datang Bu Kasinah sedang menenun, tanpa banyak bicara ia langsung membereskan tenunannya dan menuju dapur. Rumah keluarga Kasinah sangat sederhana. Seperti rumah lainnya rumah di Baduy Luar dibangun di atas batu yang berfungsi sebagai tiang penyangga, alasnya bambu yang kemudian dilapisi papan kayu. Dindingnya terbuat dari bilik bambu dan atapnya terbuat dari sejenis anyaman daun pandan. Bagian luarnya terdapat balai – balai. Bagian dalamnya terbagi menjadi dua, ruang duduk besar dan dapur. Itu saja. Ukurannya kurang lebih 10 x 5 meter saja. Tidak ada perabotan di dalamnya, kecuali kasur yang digulung serta tikar bambu. Dapurnya pun sangat sederhana, hawu dan rak piring sederhana dengan tumpukan piring kaleng.

Di depan rumah Bu Kasinah sedang ada kerja bakti, beberapa Bapak – Bapak sedang membangun rumah kayu. Indahnya kebersamaan yang tak terbeli dengan uang.

kerja bakti membangun rumah di Gajeboh

Bapak – bapak beristirahat, sedangkan saya, Cici dan Bu Kasinah sibuk di dapur mempersiapkan sarapan. Sebentar saja dan menu sederhana telah siap : nasi, tempe bacem, tahu goreng, telur dadar. Makan bersama dan kami bergegas pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Cibeo. Kami harus cepat – cepat agar tidak kemalaman. Sudah jam 11 siang dan ternyata senter kami tertinggal di mobil.

Bunda dan Cici di Balingbing

bersambung dan tujuan kami hanyalah kembali dengan selamat bersama Pak Mamad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *