Saat tema tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober diumumkan, saya sudah tahu akan menulis tentang apa. Mudah saja, karena saya hanya bergabung dengan sedikit komunitas.
Serupa tapi tak sama dengan Restu, konon tipe kepribadian saya adalah The Turbulent Architect INTJ-T.
As one of the rarest personality types – and one of the most capable – Architects (INTJs) know this all too well. Rational and quick-witted, Architects may struggle to find people who can keep up with their nonstop analysis of everything around them.
Sebagai INTJ-T saya cenderung sangat mandiri, ga mudah terbawa arus, agak – agak tidak mengikuti perkembangan jaman, dan tentunya sangat introvert, bukan social butterfly. Saya memiliki banyak kenalan, tapi sebetulnya saya tidak pandai bergaul dan tidak menyukai keramaian. Saya akan bergabung dan aktif di dalam suatu komunitas kalau memang saya berminat dan betul-betul suka.
Tentunya banyak alasan untuk bergabung dalam satu komunitas. Biasanya diawali dari kesamaan hobby, almamater, pekerjaan, tempat tinggal, atau bahkan kampung halaman.
Saat ini sebagai perantau secara otomatis saya bergabung di ikatan alumni dan ikatan profesi di Malaysia. Tapi untuk saat ini di level sedikit aktif saja. WAG kami cukup ramai tapi hanya sebatas untuk berkomunikasi antara anggota, yang terkadang pertanyaanya pun sangat receh tapi bermanfaat untuk kesejahteraan kami semua : dimana beli bumbu ayam ungkep ? atau dimana tukang bakso Indonesia yang enak ?. Atau sesekali ada teman yang sharing gambar bebek madura enak, lengkap dengan nama dan alamat warung, sesederhana itu. Walaupun ada juga kegiatan serius yang kami inisiasi seperti mengumpulkan donasi ketika di Indonesia terjadi bencana alam, mengumpulkan bantuan sembako untuk saudara-saudara kita para TKI di Malaysia dan mengumpulkan buku untuk learning centre anak-anak TKI di Malaysia.
Sebagai alumni tentunya secara otomatis saya tergabung dengan beberapa WAG, mulai dari tingkatan sekolah (SMP-SMA-kuliah) sampai angkatan (kelas a, kelas b kelas c). Disana saya tidak terlalu aktif, sebagai anggota pasif saya hanya memantau saja terutama berita duka dan suka cita. Selebihnya saya cukup tahu diri, kalau diladeni semua mungkin waktu satu hari akan habis hanya berbincang-bincang di whatsapp group. Saya gunakan media WAG ini sebagai penyambung tali silaturahmi.
Bagaimana dengan komunitas “fisik” ?
Dari tadi memang saya hanya bercerita mengenai komunitas-komunitas yang saya ikuti secara virtual (WAG) tapi berikutnya saya akan bercerita mengenai satu komunitas yang saya cintai dan bukan hanya WAG tentunya.
Keluarga Mahasiswa Pencinta Alam Ganesha (KMPA)
Dulu ketika saya masih SMA, sebetulnya cita-cita saya awalnya kuliah di UI, jurusan Antropologi. Bukan karena UI-nya tapi karena saya ingin masuk Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) UI. Sayangnya atau untungnya di tahun yang sama saya lulus SMA banyak peristiwa terjadi. Suharto turun, revolusi mahasiswa, keadaan ekonomi tidak baik, dan tentunya kondisi di Jakarta tidak menentu. Orang tua menyarankan saya kuliah di Bandung saja, alhamdulillah saya bisa lulus UMPTN dan diterima di ITB. Walaupun senang ada sedikit perasaan kecewa, karena gagal masuk Mapala UI tentunya.
Saat itu saya tidak tahu kalau ITB memiliki unit pecinta alam, memang tidak pernah terdengar di luar sana, kalah pamor dengan Mapala UI, Palawa UNPAD atau Mahitala UNPAR yang sudah banyak mengukir prestasi dan sejarah. Ternyata ada, saya menemukannya ketika open day unit-unit mahasiswa. Tanpa pikir panjang tentunya saya mendaftar menjadi anggota baru KMPA, satu unit saja, karena saya tidak memiliki ketertarikan dengan kegiatan lainnya.
Ada cukup banyak calon anggota baru di angkatan saya, saya tidak ingat pasti tapi lebih dari 10 orang. Sebagai calon anggota kami harus mengikuti kelas teori setiap hari Rabu dan kelas praktek di hari Minggu. Seleksi alam, kesibukan sebagai mahasiswa baru, Ospek Himpunan membuat jumlah anggota angkatan kami berkurang satu demi satu, tapi cukup banyak juga yang bertahan dan kami resmi dilantik sebagai anggota muda di bulan Desember tahun 1998.
And the rest is history, SEL – sebutan kami untuk sekretariat KMPA di SC Barat ibarat rumah kedua selama saya berkuliah 5 tahun di ITB (bukan lulusan cumlaude pastinya). Pulang kuliah mampir SEL, nunggu kuliah sore nongkrong di SEL, ga punya uang buat makan siang ya mampir di SEL aja. Masak nasi di rice cooker, lalu patungan beli lauk di kantin SC Barat dan makan rame-rame. Lho katanya ngga punya uang, mmm memang ga punya sih, tapi kan ada saja anak SEL yang baru dapat kiriman atau baru dapat transferan beasiswa haha. Sepertinya dulu memang berlaku, uang adalah milik kita bersama.
SEL itu bahkan pernah jadi rumah untuk beberapa teman kami, setidaknya ada 7 – 8 orang yang memang menjadi penghuni tetap, belum lagi penghuni sementara yang datang dan pergi. Saya lupa alasannya, tapi yang jelas di suatu malam ada 4 orang teman kami yang di usir ibu kost. Akhirnya karena tidak ada pilihan lain mereka pindahan ke SEL, tengah malam gotong-gotong kasur dan komputer, dan ngekost lah mereka di SEL sampai kuliah. Saat itu ukuran SEL kami memang cukup luas, ada 5 ruangan yang kemudian kami jadikan ruang tamu, dapur, ruang komputer, gudang peralatan dan satu spesial dijadikan tempat kost teman- teman tadi.
Umumnya image pencinta alam selalu identik dengan perokok, peminum dan lainnya, uniknya teman – teman di KMPA alhamdulillah sangat berbeda. Jarang sekali ada anggota yang merokok, kalaupun ada mereka tidak akan merokok di SEL karena ada aturannya tidak boleh merokok. Teman-teman muslim alhamdulillah rajin sholat, yang Kristen dan Katolik rajin ke gereja, bahkan ada satu dua yang bercita-cita menjadi pendeta. Kebanyakan teman-teman juga rajin kuliah, banyak yang lulus cumlaude walaupun ada juga yang tidak mensia-siakan waktu 7 tahun yang diberikan. Tentunya kondisi ini menjadikan KMPA sebagai tempat yang nyaman untuk semua orang. Laki-laki dan perempuan dari Sabang sampai Merauke, berbagai jurusan semua ada di KMPA.
Tempat Belajar dan Bermain
Kalau menurut saya KMPA itu paket komplit, sekomplit makan siang nasi Padang ala Sederhana. KMPA adalah tempat bermain dan belajar. Bermain sudah pasti, sebagai penggiat olahraga di alam bebas banyak sekali kesempatan untuk bermain di KMPA. Mendaki gunung, panjat tebing, susur pantai, dan arung jeram, semua pernah saya lakukan bersama KMPA. Bukan sekedar bermain tentunya, saya belajar mengenai teknik survival, teknik panjat tebing, hal-hal yang mungkin tidak akan bisa saya pelajari secara gratis kalau saya tidak bergabung di KMPA.
KMPA adalah tempat belajar, di sini tempat saya belajar berorganisasi dan semua pahit-manisnya. Belajar bergaul dan bertemu orang dengan latar belakang yang berbeda. Belajar mempersiapkan ekspedisi, menjadi panitia seminar, belajar berbicara dan mengungkapkan pendapat dalam diskusi, semua saya dapatkan di KMPA. Bahkan saya sempat menjadi ketua umum KMPA lho, bukan hal yang mudah tapi saya merasa sangat beruntung sekarang. Pengalaman menjadi ketua sangat berkesan, saya belajar mendengarkan pendapat, belajar mengambil keputusan, menyelesaikan konflik dan pastinya belajar menjadi seorang pemimpin.
Kalau menurut Alm Soe Hok Gie bidang seorang mahasiswa adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka harus bisa bebas dari segala arus masyarakat yang kacau, Tapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya. Yakni bertindak demi tanggung jawab sosialnya. Lagi-lagi KMPA bisa memfasilitasi ini, selain sebagai penggiat kegiatan olahraga alam bebas, KMPA cukup peduli lingkungan dan memiliki banyak kegiatan – kegiatan edukasi. Super komplit kan.
Sahabat – sahabat terbaik
Di KMPA juga saya menemukan sahabat-sahabat terbaik. Awalnya tentunya sederhana, bertemu hampir setiap hari, naik gunung sama-sama, teman di kala susah dan senang. Beberapa orang akhirnya menjadi sahabat terbaik.
Yang paling berkesan tentunya sahabat-sahabat wanita saya di KMPA : Tyas, Neneng dan Rini. Bersama mereka bertiga saya sering melakukan perjalanan bersama-sama. Pendakian Gunung Rinjani, Gunung Gede, Gunung Halimun, Gunung Merapi, dan gunung – gunung lainnya. Pengalaman bersama mereka bertiga selalu seru dan menyenangkan, walaupun situasi terkadang sangat susah.
Kami pernah kehabisan uang sewaktu pulang dari Merapi, karena dompet Tyas (sponsor utama di banyak acara jalan-jalan) hilang di Stasiun Kiaracondong ketika kami mau berangkat. Uang yang ada cukup untuk berangkat ke Yogya dan naik Merapi tapi kami tidak punya uang untuk pulang. Lucunya, ketika kami turun bis dari Merapi, kami bertemu dengan seorang mas-mas. Entah bagaimana awalnya kami bercerita kalau kami kehabisan uang, akhirnya mas-mas tersebut menyarankan kami naik kereta tanpa beli tiket. Beliau mengantar kami ke stasiun, bolak – balik naik motor dan menemani hingga kami naik kereta. Selama perjalanan dari Yogya ke Bandung kami duduk depan toilet, pura-pura tidur ketika ada kondektur, dan alhamdulillah selamat sampai di Bandung dan langsung kuliah.
Pengalaman epik lainnya adalah ketika kami naik Gunung Rinjani di bulan Agustus 2000. Awalnya kami tidak berencana ke Rinjani. Saat itu kami berempat naik kereta tujuan Surabaya tanpa ada rencana mau pergi kemana. Tiba-tiba ketika kereta berhenti di Yogya kami memutuskan untuk naik Rinjani di pulau Lombok. Akhirnya kami turun kereta di Blitar, mengunjungi rumah Bude-nya Rini lalu naik bis ekonomi ke Denpasar. Kami tiba di Denpasar tengah malam, mungkin karena kasihan, supir bis memperbolehkan kami menginap di pool bis. Sangat beruntung kan.
Keberuntungan kami tidak berhenti disini. Di kaki Gunung Rinjani, di pos pendakian Senaru, kami bertemu dengan Pak Anom. Beliau menawarkan diri untuk menjadi guide kami, gratis tentunya. Akhirnya kami naik gunung bersama beliau, berkemah di Segara Anakan yang cantik dan tiba di puncak Rinjani dengan selamat, ditemani Pak Anom.
Sampai sekarang saya masih berhubungan cukup dekat dengan banyak teman dari KMPA. Walaupun tidak intens berkomunikasi setiap hari, tapi mereka selalu ada dalam ingatan. Selalu langsung klik ketika kami bertemu atau ngobrol via WA.
Penutup
Itulah sedikit cerita tentang KMPA yang saya cintai. Akhirnya saya tidak menyesal gagal masuk UI dan Mapala UI, seperti yang yang saya bilang di atas, untungnya saya masuk ITB dan bergabung di KMPA. Terimakasih untuk semuanya.
Tahun ini, setelah sekian lama terlalu asik dengan dunia sendiri, saya bergabung dengan satu komunitas baru, Mamah Gajah Ngeblog (MGN). Sejauh ini interaksi saya lakukan melalui WAG juga. Awalnya tidak ada seorangpun yang saya kenal disana, semua teman baru. Mamah-mamah super hebat yang menginspirasi, dengan segudang prestasi dan pastinya sangat positif. Ini lagi-lagi adalah contoh interaksi komunitas yang saya sukai, semua santun, tidak pelit berbagi ilmu, kalaupun ada perbedaan pendapat akan disampaikan dengan baik, menyenangkan kan. Mungkin kesamaan hobby membawa kami dalam pemikiran yang sama. Terimakasih juga Mamah Gajah, semoga kita selalu semangat bersama-sama ya.
Tulisan ini tentunya saya dedikasikan untuk teman-teman KMPA dan MGN, komunitas yang saya cintai.
Pingback: About Me – Many Things About Me - sereleaungu
Pingback: Surat untuk Mami # 1 - sereleaungu