Salah satu hobby saya adalah makan dan memasak. Hobby saya yang lainnya adalah jalan – jalan. Bisa dibilang kedua hobby ini saling mendukung, simbiosis mutualisme-nya sangat menguntungkan, sering berjalan – jalan dan berkunjung ke tempat yang baru memberi saya kesempatan untuk mencicipi makanan lokal.
Kalau istilahnya Om Bondan Winarno : wisata kuliner. Dalam kamus jalan – jalan saya tertulis : cicipi makanan lokal, kalau bisa yang asli buatan dapur rumah tangga, dan jangan pernah makan di tempat/restaurant yang sama.
Selama perjalanan itu di Indonesia saya sangat berbahagia, cita rasa masakan Indonesia sangat cocok dengan lidah saya, manis – pedas – asin atau campuran ketiganya masih bisa cocok, apalagi kalau pedas dan gurih, cucok banget. Ngga masalah walau bentuknya kaya lem sekalipun (itu lho bubur sagu alias Papeda kalau di Maluku, Sinonggi kalau di Sultra atau Palopo Kapurung kalau di Sulsel). Tidak jarang sepulang bepergian saya punya resep masakan baru.
Masalah kadang muncul apabila saya kebetulan bepergian ke luar negeri. Selama masih di daerah Asia Tenggara tidak masalah tentunya. Akan tetapi permasalahan kadang muncul di negara – negara yang tidak memilih nasi sebagai makanan pokok, karena rata – rata rasanya ajaib di lidah saya, makanannya dingin, dan plain alias datar – datar saja tanpa rempah dan pedas. Ditambah sulitnya memastikan halal atau tidaknya daging yang digunakan. Untuk amannya saya lebih memilih untuk makan ikan dan berbagai jenis sayuran.
Ketika akan berkunjung ke Inggris bulan lalu, teman – teman yang sudah pernah kesana semua punya pendapat yang sama : “Makanannya ga enak, pasti dingin, susah cari makanan halal, jangan lupa bawa sambel, mie instan, dll”. Saya sepakat dan mengikuti saran tersebut, di koper saya tersimpan rapi 2 botol saus sambal dan 6 bungkus mie siap seduh. Satu botol malah saya taruh di daypack, biar siap sedia kapan saja.
Hari pertama saya di Inggris masih selamat dan sejahtera karena saya hanya makan kue – kue dan coklat. Kalau ini cocok selalu dimanapun dan kapanpun. Hari kedua juga selamat karena teman yang kebetulan tinggal di London mengajak saya makan di restoran Malaysia dan Chinese. Nah di hari ketiga ketika saya sudah tiba di Wareham, inilah British yang sesungguhnya. Ketika check in saya diminta memilih menu untuk dinner malam itu. Nama makanannya bagus – bagus, ada penjelasannya walau ga ngerti – ngerti banget. Daripada bingung saya memilih menu berbahan dasar ikan. Mudah – mudahan selamat.
Waktu makan malam tiba, makanan saya hari ini lumayan, ikan-nya walau agak hambar tapi rasanya lumayan enak. Hari kedua dan seterusnya adalah bencana. Saat itu kami mulai bekerja di lapangan. Otomatis makan siang kami adalah lunch box dari hotel yang sangat British : 4 buah sandwich, coklat, biscuit, juice buah dan apel. Karena kelaparan mau ga mau sandwich British ini saya makan juga, untunglah ada saus sambal penyelamat. Makan malam seperti biasa, ikan yang rasanya aneh atau vegetarian lasagna. Mba Mba hotel sampai hapal dengan pilihan saya.
Hari keempat di Wareham, saya dan teman – teman bukan British ternyata menyepakati hal yang sama : Makanannya kurang cocok dengan selera kita. Kita mengajukan complain ke pihak hotel dan berharap untuk bisa mendapatkan international food, jangan British terus (soalnya di dinding hotel ada piagam penghargaan yang menyebutkan hotel yang saya tempati adalah the best British food di seluruh negeri). Tapi ga mempan, selain sandwich dingin, alternatif makan siang kami adalah salad dan berbagai macam ham dingin. Sedihnya.
Rasa ga cocok kami terhadap makanan British makin menjadi hingga suatu hari di Bridport Bay yang cantik. Saat itu kami akan makan siang dan lunch box kami seperti biasa isinya 4 potong sandwich dingin. Semua orang sudah mengomel ga keruan. Rodriguez – teman saya yang orang Colombia memilih tidak makan dan membagi – bagi sandwich-nya walau tidak satupun yang mau menerima. Tiba – tiba, Wendy yang kelahiran Somerset datang membawa bungkusan besar dan membukanya di depan kami semua. Langsung terlihat kentang yang digoreng kering, potongannya besar – besar dan hangat pastinya. Ada lagi gorengan besar di sana : ikan goreng berbalut tepung yang garing. Pelengkapnya ada saus tomat dan saus tartar. Ini dia Fish and Chips yang terkenal itu ! Satu porsi sangat besar ukurannya. Akhirnya kami ramai – ramai mencoba Fish and Chips-nya Wendy. Rasanya pas dan luar biasa. Setelah sekian lama hanya makan sandwich dingin akhirnya ketemu juga yang garing dan gurih di Inggris.
Rasa penasaran saya tentang Fish and Chips terjawab sudah, dan rasanya memang luar biasa, sejak saat itu saya mulai kecanduan dengan garingnya Fish and Chips. Malam harinya, Claire yang orang London asli bercerita : Fish and Chips adalah makanan Inggris yang paling populer, dimana – mana bisa ditemukan dengan mudah Fish and Chips shop yang bentuknya kedai. Mungkin sama dengan kedai burger kalau di Amerika atau kedai pizza di Italia. Biasanya Fish and Chips jarang dimakan di restoran (soalnya kedai yang menjual pun biasanya tidak menyediakan tempat duduk). Jaman dulu kala biasanya Fish and Chips dibungkus kertas koran yang sangat banyak, digulung kemudian diserahkan ke pembeli. Biasanya orang menikmati Fish and Chips di taman, hmm memang nikmat tampaknya. Tapi saat ini kertas koran tidak pernah digunakan lagi, para penjual beralih ke kertas putih atau bahkan banyak juga kedai yang menggunakan kemasan sterofoam.
Hari – hari saya di Inggris akhirnya menjadi hari – hari untuk mencicipi berbagai jenis Fish and Chips. Fish and Chips saya yang kedua saya nikmati di sebuah restoran British yang namanya The Duke of Wellington di Wareham. Inipun secara tidak sengaja. Sebelumnya ketika berjalan kaki dari hotel saya melewati sebuah kedai Fish and Chips, wanginya menggoda sekali, maksud hati ingin mampir tapi teman saya ingin mencoba makan malam di restoran British. Tiba di restoran saya otomatis memilih menu ikan, asal pilih karena ga ngerti. Ternyata yang datang di hadapan saya adalah Fish and Chips, sepiring besar kentang goreng ditambah ikan goreng tepung yang luar biasa besarnya, potongan jeruk nipis dan kacang polong. Rasanya luar biasa dan porsinya luar biasa besar, walau sudah dibantu teman- teman, Fish and Chips itu masih tersisa. Seorang teman berkomentar : ikannya besar sekali, seperti ikan hiu : Shark and Chips.
Besoknya kami mencoba makan malam di sebuah kafe, masih di Wareham, namanya Kings Arms. Seperti biasa menu ikan, asal pilih saja dan ternyata yang datang Fish and Chips juga. Cuman yang ini agak berbeda, ikannya dibentuk seperti fillet dan digoreng berbalut tepung panir. Pendampingnya masih sama, kentang goreng renyah yang gede – gede itu, potongan jeruk nipis dan kacang polong. Rasanya juga masih sama : luar biasa enak.
Setelah tanya – tanya, ternyata memang ada dua jenis Fish and Chips yang umum, yaitu batter dan breadcumbs. Di buku menu memang ada dua pilihan ini :
- Battered Cod fillet : deep fried in our own batter served with fries, peas and salad garnish
- Breaded Whole Tail Scampi : in crumb coating served with fries, peas and salad garnish
Shark and Chips saya pasti masuk kategori ke 2 yang whole tail itu, sedang fish di King Arms masuk kategori yang battered. Mana yang paling enak ? Menurut saya dua – duanya enak.
Perkenalan saya dengan Fish and Chips yang ketiga adalah saat makan siang di hotel. Ini adalah makan siang kami terakhir di hotel. Entah kenapa setelah sekian lama akhirnya Sang Koki menyediakan makanan yang enak he he. Sayangnya saya tidak sempat motret ikan yang ini, sudah keburu ludes.
Mbah Wikipedia bilang, Fish and Chips bukan saja populer di Inggris, tapi juga di Australia, Selandia Baru, Amerika Utara, Irlandia, Afrika Selatan, Denmark, Norwegia hingga Belanda. Nama di setiap Negara tentu berbeda – beda, di Belanda disebutnya Lekkerbek. Cara penyajiannya juga berbeda tapi sebetulnya masih sama : ikan goreng disajikan dengan kentang goreng.
Kalau di Inggris dan Negara persemakmurannya, kentang goreng disebutnya chips, potongannya tebal dan besar – besar. Sedangkan orang Amerika dan Kanada memotong kentang dengan ukuran yang lebih tipis, disebutnya french fries. Kalau lagi di Inggris, Haddock dan Cod adalah ikan yang paling banyak digunakan.
Fish and Chips mulai populer sejak pertengahan abad 19. Mbah Charles Dickens menyebutkan istilah “fried fish warehouse” dalam bukunya Oliver Twist yang diterbitkan pada tahun 1838.
Perjumpaan terakhir saya dengan Fish and Chips adalah di sebuah kedai kecil di Edinburgh. Memang sudah diniatkan, ingin mencoba Fish and Chips di kedai asli. Dan karena kelaparan lagi – lagi lupa ngga difoto. Uniknya, kedai yang saya datangi ini ternyata memperoleh penghargaan dari Guinnes World of Record dan British Potato Council. Café PICCANTE dianugerahi penghargaan : “The most portions of chips wrapped in 1 minutes”. Terlepas dari penghargaan itu, kedai kecil ini sangat ramai, dan fish and chips batternya memang sangat enak. Paling enak dari semua fish and chips yang pernah saya cicipi. Uniknya di sini, selain saus tomat ada pilihan saus lain yang merupakan kombinasi spirit vinegar, ketchup dan brown sauce, disebutnya chippie sauce. Konon ini merupakan saus asli dari Edinburgh.
Ini dia makanan British yang paling cocok dengan lidah saya, walau memang sangat tinggi lemak (deep fried) dan minim serat (hanya kacang polong). Suatu saat ingin rasanya kembali ke Inggris dan makan fish and chip lagi.