[Reread] Battle Hymn of Tiger Mother #1

Sejak tahun lalu sebetulnya saya ingin membaca kembali buku ini : Battle Hymn of Tiger Mother yang ditulis oleh Amy Chua, ibu dua orang anak perempuan dan juga seorang professor di Yale Law School.

Buku ini terbit pertama kali di tahun 2011 sebagai memoir yang ditulis sendiri oleh Amy dan bercerita mengenai cara Amy membesarkan kedua anak perempuannya.

This is a story about a mother, two daughters, and two dogs. It’s also about Mozart and Mendelssohn, the piano and the violin, and how we made it to Carneige Hall. This was supposed to be a story of how Chinese parents are better at raising kids than Western ones. But instead, it’s about a bitter clash of cultures, a fleeting taste of glory, and how I was humbled by a thirteen years old.

Battle Hymn of Tiger Mother

Saya membaca buku ini pertama kali di tahun 2012, versi terjemahan Bahasa Indonesia. Rasanya saat itu saya sedang sangat bersemangat mempelajari bagaimana cara terbaik membesarkan Cici. I was a bit a tiger mother back then (atau sampai sekarang haha) terbukti dengan Cici yang sudah pergi “sekolah” Gymboree sejak usia 6 bulan dan Cici yang masuk pre-school di usia 2 tahun. Ada beberapa hal yang dulu saya anggap baik dan saya terapkan untuk Cici tapi ada juga yang saya anggap berlebihan.

Tahun ini, 10 tahun kemudian, secara tidak sengaja saya menemukan kembali buku ini di jajaran Blockbuster books di toko buku Popular, dan tentunya harganya sangat murah. Mungkin ini pertanda saya harus kembali membaca buku ini sebagai salah satu alat bantu refleksi diri, 12 tahun menjadi orang tua.

The Tiger, the living symbol of strength and power, generally inspires fear and respect.

Di bagian pertama buku ini, Amy bercerita mengenai latar belakang diri dan juga keluarganya. Selain itu tentunya perkenalan dengan Sophia dan Lulu (Louisa) kedua putri beliau dan perkenalan mereka dengan alat musik masing-masing. Sophia dengan piano dan Lulu dengan violin.

Amy is a really good story teller, buku ini sangat ringan dan mudah dibaca. Saya menghabiskan kurang dari 1 jam untuk membaca 90 halaman pertama buku ini.

The Chinese Mother

Di awal cerita, Amy bercerita mengenai beberapa hal yang terlarang untuk Sophia dan Lulu : sleepover di rumah teman, playdate, bergabung di school play, mengeluh tentang tidak boleh bergabung di school play, menonton TV, bermain games, memilih kegiatan ekstra kurikuler-nya sendiri, mendapat nilai kurang dari A, tidak menjadi no 1 di semua mata pelajaran kecuali gym dan drama, memainkan alat musik selain piano dan violin, dan tidak memainkan piano dan violin.

Amy kemudian bercerita mengenai observasinya mengenai Chinese parents vs. Western parents. Menurut Amy, Western parents yang strict itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Chinese parents. Sebuah survey dilakukan kepada 50 Western American mothers dan 48 Chinese immigrant mothers. Hasilnya, 70 % dari Western mothers berpendapat bahwa memprioritaskan sukses di bidang akademik tidak baik untuk anak dan orang tua harus menanamkan idea bahwa belajar itu menyenangkan.

Sebaliknya, tidak ada Chinese mothers berpendapat sama, mereka meyakini bahwa anak-anak mereka dapat menjadi pelajar terbaik, pencapaian di bidang akademik adalah kesuksesan orang tua. Kalau anak-anak gagal, artinya ada masalah dan orang tua tidak melakukan tugasnya dengan baik.

Kesimpulan terakhir, Amy tidak setuju bahwa American sports parents sama dengan Chinese mother. Kenyataannya, ketika Western parents lebih mengutamakan anak-anaknya berolahraga, ada banyak hal lain yang dipercaya oleh para Chinese Mother : pelajaran sekolah selalu jadi nomor 1, A- itu nilai yang jelek, anak-anak harus 2 tahun lebih advance di Matematika, jangan pernah memuji anak di depan umum, kalau ada perbedaan pendapat antara anak dengan guru/coach, orang tua akan selalu berpendapat sama dengan guru/coach, anak-anak hanya boleh bergabung dengan aktifitas yang mereka akan mendapat medali, dan medali itu harus emas.

Reaksi pertama saya adalah : wow, dan saya pun menceritakan ini kepada Cici. Komentar Cici adalah : itu seperti Bunda kan haha. Saya akui ini agak mirip tapi saya tidak terlalu strict seperti Amy. Cici masih saya perbolehkan sleepover di rumah teman, playdate bahkan saya support untuk bergabung di school play. Cici boleh menonton TV dan bermain games, tapi saya memang selalu “ikut campur” dengan memilihkan ekskul untuk Cici. Cici tidak wajib untuk selalu mendapat A, tidak diwajibkan untuk menjadi nomor 1 di semua mata pelajaran dan saya berpendapat gym dan drama sama pentingnya seperti Science dan Math. Cici belajar memainkan piano dan violin, tapi Cici juga saya perbolehkan belajar alat musik lain, dan sekarang Cici sedang belajar flute.

The Asian Mother = Tiger Mother

Tapi kemudian saya mengingat-ingat, apa yang dilakukan Amy ini sebetulnya hal biasa yang saya jumpai di circle of friends saya di Kuala Lumpur yang tidak lain adalah ibu dari teman-teman Cici. Bahkan banyak yang lebih ekstrim daripada Amy. Tapi satu hal yang saya setuju, mereka adalah Chinese mother.

Kenapa saya bilang lebih ekstrim, karena kalau Amy hanya fokus di bermain musik, para Chinese mothers yang saya kenal akan fokus di segalanya : musik, art , sports dan akademik.

Ok mari kita tarik nafas panjang dulu haha.

8 tahun tinggal di Malaysia, sedikit banyak ada beberapa hal yang bisa saya simpulkan. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, apa yang dilakukan Amy adalah hal biasa, banyak teman-teman Cici yang sangat hebat dalam berbagai hal. Ada seorang kakak kelas Cici ketika SD yang saya tahu selalu jadi rangking 1, pandai melukis, pandai bermain violin dan hebatnya juga adalah seorang state swimmer ! Padahal waktu mereka sama-sama 24 jam sehari, kenapa bisa ya ?

Saya berikan contoh jadwal harian dari salah seorang anak teman saya.

04:30 Bangun pagi, berangkat ke kolam renang

05:15 Swim training – morning session

07:30 Berangkat dari kolam renang ke sekolah

08:00 Sekolah

15:00 Berangkat dari sekolah ke tuition centre, bisa art, musik atau pelajaran

19:00 Kembali ke kolam renang

19:30 Swim training – evening session

21:30 Selesai training, kembali ke rumah

22:00 Tiba di rumah, makan malam lalu dilanjutkan dengan belajar dan mengerjakan PR

24:00 Tidur

Teman saya ini stay at home mother, tidak ada supir dan juga tidak ada asisten rumah tangga. Jadi setiap hari dia bangun jam 3:30 pagi untuk menyiapkan sarapan anak dan suami, sebelum kemudian mengantar anak ke kolam renang. Sambil menunggu anaknya berenang, biasanya dia lari pagi, kemudian mengantar anak ke sekolah.

Pulang ke rumah sekitar pukul 9 pagi dilanjutkan dengan house chores dan juga memasak untuk makan malam. Nanti jam 2 siang dia keluar rumah untuk menjemput anak, mengantar ke tuition centre. Sekitar pukul 7 malam mereka kembali ke kolam renang, dan kalau tidak lelah dia akan mengisi waktu dengan lari lagi. Tapi kebanyakan kalau malam hari dia gunakan untuk membaca buku di tepi kolam.

Begitu terus setiap hari kecuali hari Senin karena tidak ada swim training. Weekend bukan berarti istirahat karena anaknya ada training triathlon dan biasanya suaminya yang akan menemani. Kadang-kadang teman saya juga ikut, dan kemudian ikut bersepeda atau berenang.

Waktu saya tanya apakah tidak cape, dia jawab ok haha, tapi saya tahu itu pastinya cape banget kan, fisik dan mental. Anaknya ? saya tebak pasti cape juga tapi rasanya ok ok saja.

Beberapa orang tua mungkin cukup beruntung karena ada supir atau asisten rumah tangga, tapi kurang lebih pola kegiatan mereka sama. Kalau Amy hanya fokus di bermusik, mereka memang fokus di segalanya.

Kiasu or Tiger ?

Di kalangan Chinese Mother terutama Singaporean, ada istilah kiasu. Ngga mau kalah, selalu ingin jadi nomor satu. Tipikal kiasu mother ini banyak juga saya jumpai di sini. Ada satu dua pengalaman pribadi yang terkait, dan sejujurnya ga enak banget.

Intinya kiasu mother ini mengerikan, saya lebih baik ga berurusan dengan mereka. Karena kiasu, ngga mau kalah, mereka juga cenderung merugikan orang lain. Cenderung menghalalkan segala cara asal anaknya jadi nomor satu.

Ayo pilih, mau jadi kiasu atau jadi tiger mother ?

Penutup

3 halaman yang juga 1st chapter di buku Amy ternyata sukses membuat saya berfikir cukup lama. Dulu banyak sekali pro dan kontra terkait cerita Amy ini, rasanya dulu saya juga berfikir Amy ini aneh.

Tapi sebenarnya di luar sana banyak sekali Amy Amy lainnya, sebetulnya inilah tipikal Chinese (Asian) mother, satu dua ada juga yang saya temukan di Western mother.

Jadi apakah saya tipikal Chinese mother – nanti kita lanjutkan di bagian selanjutnya ya. Kalau kalian mamah yang mana ?

9 Comments on “[Reread] Battle Hymn of Tiger Mother #1”

  1. Masya Allah, kok lihatnya serem dan tegang banget ya hidupnya. Kaya yang nggak bisa baringan dan leyeh-leyeh kaya orang umumnya. Tapi emang sih ya, hasilnya juga nggak kaya orang rata-rata. Salut lah sama yang bisa sanggup jadi tiger mom.

    1. Iya Teh Shanty, waktu pertama denger aku juga kaget. Tapi setelah makin lama kenal banyak tiger mother and kids ini ternyata mereka fun fun aja 🙂

  2. Jadwal salah satu teman May bikin jawdropping ehehe. Beliau dan anaknya tidur jam 12 dan bangun jam 3.30. Betul2 butuh komitmen tinggi untuk menjadi Tiger Mom ya.

    Kalau saya pribadi, saya ga mau jadi Tiger Mom ehehe.

    Namun kalau saya melihat orang lain menjadi Tiger Mom, saya salut. Setiap orangtua punya metode tersendiri buat putra putrinya. Tentunya saya ga akan pernah judging. Bahkan ada yang putra putrinya malah senang dengan strict-nya orangtuanya ehehe.

    KIASU ini kayanya type yang ‘nakal’ ya May. Ini sudah tidak sehat kalau begini. 🙁

    1. Perlu komitmen banget memang Uril, salut memang dengan mereka. Aku kemarin baru baca-baca tulisan anak-anaknya Amy Chua ini, waktu mereka udah besar. In short mereka merasa beruntung Amy sangat strict, dan one day mau jadi tiger mother juga hehe.

      Kiasu ini sebetulnya artinya ga mau kalah, ada sih yang ok, yang ga rugiin orang. Tapi banyak juga yang merugikan orang lain, semata-mata biar anaknya jadi no 1. Ini istilah orang Singapore asalnya.

  3. Aduh nggak mau saya malah jadi Amy. Ngeri ambisi berlebihan ke anak dan anak malah jd rebel. Aku jd ingat teman cerita di ruang tunggu playground, dia lihat ada ibu2 marah2 ke anaknya karena salah menghitung dari rumus. Anaknya terlihat stres berat. Temenku malah jadi kepikiran dan dilema, kasihan sama anaknya.

    Tuntutan sekolah mungkin ya, tapi kasihan anak. Semoga Ibu Amy dan tiger mom lain nggak sampai segitunya

    1. Iya Andina, sayangnya kebanyakan tiger mom jadi suka marah2. Sebetulnya aku banyak sependapat dengan tiger mom ini tapi approachnya yang ga setuju. Terutama kalau berkaitan dengan ambisi. Harus hati-hati banget ini. Kemarin ada teman yang guru music posting bagus deh : your dream might be not your children dream, give them room to grow. Give them a chance to be themselves.

  4. sebenernya tiger mom ini not that bad. Aku membayangkan, di cina ada begitu banyak manusia, dan umumnya mereka pun menjadi migran, mereka harus menjadi orang yang punya kelebihan supaya bisa bersaing dengan orang-orang lainnya, makanya disiplin itu jadi yg utama dan stritct.

    kalau western mom kebanyakan teori juga kadang2, tapi bedanya negara mereka mengasih santunan kalaupun mereka ga kerja. tapi banyak juga orang berhasil ketika melakukan sesuatu karena mereka memang suka dan bukan karena dipaksa2 orang tua.

    both side sebenernya cara bertahan hidup dan bersaing di dunia yg katanya moving so fast ini, tapi aku sih ga mampu jadi tiger mom, soalnya aku sendiri disiplinnya senin kamis, hehehe…. senin buka list blogwalking, baru kamis ngerjain pas deadline hahahaha, kok jadi pas ya, hahahhaa…

    1. Setuju Risna, sebetulnya ini salah satu cara mereka untuk survive kan. Both ada plus minusnya, dan terpulang ke diri kita masing-masing, parenting style mana yang lebih cocok untuk anak kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *