Perjalanan ke Sapa minggu lalu merupakan salah satu perjalanan favorit kami. Dengan persiapan serba mepetpun ternyata kami masih sangat beruntung. Banyak sekali kemudahan – kemudahan yang kami peroleh, sepertinya mantra sakti bahwa orang baik itu ada dimana saja mulai beraksi kembali.
Ketika harus memilih antara Vietnam Utara atau Vietnam Selatan, maka pilihannya sudah pasti ke Vietnam Utara. Soalnya disana ada Sapa, kota kecil cantik di kaki Gunung Fansipan. Walau ngakunya suka pantai juga, tetepppp bila harus memilih maka gunung akan selalu menjadi cinta pertama kami.
Keberuntungan pertama dimulai ketika saya bisa menyelesaikan tugas dari si Bos tepat waktu, kerjaan 2-4 minggu dikebut semalam. Dan tepat jam 1 siang email terkirim, plus kirim whatsapp minta ijin pulang cepat. Jawaban beliau singkat aja : please proceed to leave. Eh tapi ditambah lagi : “You still can be accessed via phone/email when you are outside of Malaysia right ? “. Dijawab dengan InshaAllah dalam hati haha. Thank you Bos.
Singkat cerita kami tiba di LCCT mepet sekali, jam 4 baru drop luggage dan berlari – lari ke Imigration gate yang juga ngantri, tiba di waiting room jam 16:20 dan langsung naik pesawat. Hebat, pesawatnya ngga ngaret, keberuntungan kami yang kedua.
Sekitar jam 19:00 malam waktu Vietnam (yang ternyata sama dengan WIB) kami tiba di bandara Noi Bai, Hanoi. Dugaan saya bahwa Vietnam itu lebih tertinggal dari Indonesia ternyata salah. Bandaranya bersih, cukup bagus juga walau berkesan dingin. Antrian imigrasi cukup efisien dan bagasi juga cepat sekali. Hebat juga ya.
Karena tidak sempat menukar uang di Kuala Lumpur, saya bergegas mencari money changer di dekat pintu keluar. 100 Ringgit Malaysia dihargai 605k Vietnam Dong. Banyak sekali memang, berasa kaya raya jadinya. Konversi Dong ke Rupiah tinggal dibagi 2 saja, jadi 100k Dong kurang lebih 50k Rupiah. Saya tukarkan juga sedikit uang dalam USD, konon uang USD pun diterima luas di Vietnam. Supir taksi hingga pedagang kaki limapun menerima pembayaran dalam USD.
Keberuntungan kami yang kedua adalah perjumpaan kami dengan Jeffri dan Dino, dua Abang Malaysia yang satu pesawat dengan kami. Mereka menawarkan berbagi taksi ke kota, tentu saja kami mau. Tarif taksi ke pusat kota kurang lebih 20 USD. Mai Linh taksi dengan mobil Innova, salah satu taksi yang di rekomendasikan di banyak forum. Supirnya baik tapi sayang ngga bisa bahasa Inggris, dan ga bisanya bener – bener ga bisa. Akhirnya Jeffri menunjukkan print out reservasi keretanya sambil menunjuk – nunjuk minta di antar kesana haha.
Jalan dari Noi Bai Airport ke Hanoi bagus lho, juga tidak macet. Gosip bahwa pengendara mobil di Vietnam sangat ugal – ugalan alhamdulillah tidak terbukti. Pak Supir kami nampaknya baik – baik saja. Sesuai rencana malam ini kami mau mengadu nasib ke stasiun kereta. Mau cari tiket ke Sapa, siapa tahu ada. Sebetulnya kami sudah punya tiket bis Hanoi – Sapa, berangkat keesokan harinya. Tapi rasanya sayang bila stay 1 malam di Hanoi dan duduk 1 hari penuh di dalam bis menuju Sapa.
Jeffry dan Dino juga akan berangkat ke Sapa, mereka akan naik Gunung Fanxipan. Tapi malam ini mereka akan stay 1 malam di Hanoi dan naik kereta ke Sapa besok malam. Ini kali ketiga mereka naik Fanxipan, pendakian ke 1 dan ke 2 mereka tidak bisa sampai puncak karena banyak hal. InshaAllah kali ini bisa ya.
Sekitar jam 9 kurang kami tiba di Ga Hanoi, Ga dalam bahasa Vietnam berarti train station. Sesuai rencana saya akan turun dan mencari tiket. Stasiun kereta penuh sekali, saya bergegas ke loket dan dijawab dengan NO yang sangat tegas. Haha ternyata salah loket, disini hanya menjual tiket ke Ho Chi Minh. Seorang bapak menghampiri saya dan bertanya hendak kemana. Calo tiket, dan ternyata dia punya tiket ke Sapa untuk jam 10 malam. Harganya pun tidak ajaib, 800k Dong per orang, tarif normal.
Senang sekali rasanya dan kami bergegas ke parkiran. Ternyata Helmy pun bertemu dengan calo yang menawarkan tiket. Lebih bagusnya lagi calo yang ini punya tiket untuk kereta jam 9.10 malam. Bingung deh, sesaat saya merasa ga enak dengan Bapak calo pertama. Ajaibnya ternyata mereka akur lho, calo pertama sepertinya tidak keberatan bila kami membeli tiket dari calo kedua.
Akhirnya bergegas kami berpamitan dengan Jeffry Dino, ambil tas dan mengikuti calo yang sibuk berlari karena kereta sebentar lagi berangkat haha. Padahal harga tiketnya pun belum tahu.
Cici yang tidur terpaksa saya gendong. Helmy membawa 2 tas, Pak Calo bawa 1 tas, tapi karena susah akhirnya Cici dipaksa bangun dan langsung diajak lari naik turun tangga stasiun. Mimpi buruk. Kebayang bangun tidur langsung disuruh lari, jauh pula, ditemani 2 calo yang sibuk teriak : let’s go let’s go ! . Berasa di Ospek ngga sih Ci.
Tiba di dekat kereta Helmy dan Cici bergegas naik, saya menyelesaikan urusan pembayaran. Dua tiket Hanoi – Lao Chai, kereta Royal Express VIP class dihargai 2.150.000 dong. Murahh, karena ternyata harga asli tiketnya rata – rata sekitar 87 USD per person. Lucunya calo kedua meminta saya memberi tips ke calo pertama. Kalau dipikir – pikir sekarang lucu juga memang. Mereka ingat kawan ternyata ya. Akhirnya saya memberi uang 50k dong ke calo pertama. Semua senang. Terimakasih Pak Calo.
Keretanya ternyata memang bagus, sleeper train, dalam 1 cabin ada 4 tempat tidur. Di cabin kami ada 2 Bapak – Bapak Vietnam yang sayangnya tidak bisa berbahasa Inggris. Selesai meletakkan barang – barang akhirnya kami bisa bernafas lega. Kereta berangkat tepat waktu, alhamdulillah memang.
Saya bergegas ke toilet, dalam pikiran saya mumpung toiletnya masih bersih. Memang masih bersih, toilet duduk, air mengalir. Di dekat toilet ternyata ada juga penumpang yang duduk di lantai. Saya tidak tahu ini illegal atau legal. Saya langsung teringat perjalanan pulang dari Yogyakarta ke Bandung, 14 tahun yang lalu.
Waktu itu saya, Tyas, Neneng dan Rini pulang mendaki Merapi. Kami tiba di Yogyakarta jam 11 malam. Bingung mau ke Bandung naik apa, mahasiswa kere, uang udah ngga ada, sedangkan besok paginya kami harus tiba di Bandung. Semua ada kuliah pagi.
Nah lucunya lagi waktu itu kami turun bis di daerah Janti, bingung hendak kemana dan tiba – tiba ditegur Mas – Mas pemilik warung. Dengan polosnya kami bercerita bahwa kami bingung hendak pulang naik apa ke Bandung. Si Mas Mas menyarankan naik kereta saja, dan diapun mengantar kami naik motor ke stasiun Tugu. Lha ini kan stasiun kereta mahal. Saat itu kemampuan kami hanyalah kereta ekonomi dari Lempuyangan saja, yang bayarnya ngga lebih dari 10k per orang haha.
Singkat cerita kamipun malas kemana – mana dan memilih menunggu di Tugu. Dan saya lupa persis bagaimana, tapi yang pasti kami naik kereta pertama yang berhenti di Tugu, tanpa tiket ho ho. Kami bergegas ke belakang dan duduk manis di pintu toilet, untungnya kereta eksekutif jadi ngga terlalu bau. Karena memang lelah, kamipun tertidur pulas, 4 cewek gembel belum mandi, ngga punya duit pula.
Jam 4 pagi tepat tiba – tiba ada bunyi weker keras sekali. Mendadak kami terbangun semua. Neneng sibuk membongkar ransel mencari jam wekernya. Ternyata Neneng lupa mematikan weker yang biasa dibawa – bawa sewaktu naik gunung. Biasanya kami gunakan untuk panggilan bangun pagi ketika hendak summit attack. Bersamaan dengan kehebohan itu datanglah pula kondektur kereta, periksa tiket. Double panic. Ini lagi – lagi saya lupa juga persisnya. Yang pasti kami selamat, bahkan bisa pindah duduk manis di kursi sampai ke Bandung. Tiba di Bandung tepat waktu dan langsung kuliah.
Back to 2014
Malam ini kami tidur nyenyak, saya tidur di bed atas bersama Cici. Saya terbangun jam 5 pagi, di luar sudah terang. Cici ikut bangun, turun tempat tidur dan berjalan – jalan ke luar cabin. Vietnam itu Indonesia banget. Sawah, pohon pisang, sungai, hanya kurang tukang pecel keliling naik kereta, atau pedagang lanting yang biasa saya temui di kereta ekonomi dari Bandung ke arah Jawa.
Pak Kondektur berkeliling, memukul – mukul pintu cabin, membangunkan para penumpang. Kereta kami tiba di Lao Chai jam 6.10 pagi. Tepat 9 jam perjalanan dari Hanoi, tepat waktu.
Penjemput dari H’Mong Sapa Hotel sudah menunggu kami di luar stasiun. Ramai juga penjemput disana, seramai para calo bis yang menawarkan angkutan ke Sapa. Kami masih menunggu penumpang lain ketika Helmy menyadari HP nya hilang. Panik yang pertama. Saya dan Cici duduk menunggu di warung, Helmy kembali ke kereta. Entah hilang atau tertinggal, mudah – mudahan bisa ketemu.
Lama juga kami menunggu di warung, untungnya banyak juga penumpang lain yang masih ditunggu. Lao Cai kota yang menyenangkan, pagi yang ramai tapi tidak ribut. Pedagang buah – buahan di pinggir jalan dan hiruk pikuk di terminal bis kecil. Tipikal kota – kota kecil di Jawa Tengah.
Helmy datang dengan seorang Bapak – bapak. Beliau minta uang 300k Dong, uang pengganti untuk HP yang berhasil ditemukan. Helmy tidak berhasil menemukan HP nya di kereta, Bapak ini kemudian menemani mencari ke rumah – rumah penduduk di sekitar stasiun. Ajaibnya ketemu lho, entah ini mafia atau bagaimana alhamdulillah ketemu juga hand phone-nya, walau harus bayar haha.
Oiya, saya jadi ingat lagi. Another story from my youth hood memories. Saya jadi ingat kenapa kita miskin banget waktu naik Merapi sampai harus bayar kereta di atas waktu pulang ke Bandung. Tepat sebelum berangkat ke Yogya, Tyas kecopetan dompet di stasiun Kiaracondong, Bandung. Hilang semuanya. Padahal Tyas adalah donatur perjalanan yang biasa paling diandalkan, lainnya bokek semua :D. Ngga heran kita jadi miskin banget selama perjalanan itu. Lucunya hilang dompet pun tak mengapa ya, naik gunung tetep jalan terus. Bukannya ngurus – ngurus ke kantor polisi dulu. Betapa bahagianya hidup masa muda itu, ga musti pusing ngurusin dompet atau HP hilang. Sederhana saja.
Back to Vietnam, sekitar jam 7 pagi akhirnya kami naik van milik H’Mong Sapa Hotel. Perjalanan ke Sapa kurang lebih 45 menit. Saya dan Cici kebagian duduk di depan. Perjalanan menyenangkan sekaligus menyeramkan. Pemandangan indah, berasa di luar negri (eh memang di luar negri ya hehe), plus supir tanpa rasa takut dan berisik klakson sepanjang jalan.
Tak terhitung berapa kali van kami hampir bertabrakan atau menabrak mobil lain. Dan ajaibnya ngga pernah tabrakan. Bule bule yang duduk di belakang sudah heboh saja. Ini ternyata driving style Vietnam yang terkenal itu. Klakson lah kapanpun, dimanapun dan bagaimanapun.
Di sebelah kiri jalan ada jajaran pegunungan dengan Puncak Fanxipan yang terkenal itu – puncak tertinggi di Indo China.
Rumah – rumah kecil di pinggir jalan, kebun bunga, pagi yang sejuk. Beberapa kali kami berpapasan dengan kerbau yang menyebrang jalan. Duduk di bangku depan membuat perjalanan ini menjadi super menyenangkan.
Perjalanan ke tempat baru selalu membuat saya bahagia, excited, dengan segala hal baru yang akan ditemui. Semua ketidakpastian. Kalau Soe Hok Gie bilang : “Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya. Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar. Terimalah, dan hadapilah”
to be continued