UK, Wanderlust
comments 15

Sore di Edale

Edensor adalah judul buku si Ikal a.k.a Andrea Hirata yang ketiga. Nama sebuah tempat di pedesaan Inggris yang mengingatkan Ikal pada Ah Ling, cinta pertamanya. Deskripsi Andrea tentang Edensor sangat mengagumkan bagi saya, sounds beautiful. Pertama kali membaca tentang Edensor saya langsung bertekad : suatu saat saya ingin juga melihatnya.. EDENSOR.

Sebelum berangkat ke Inggris saya sempatkan untuk mencari informasi mengenai Edensor. Sedikit sekali keterangan yang bisa diperoleh dari website, bahkan Lonely Planet Great Britain tidak menerangkan sedikitpun mengenai Edensor.

Salah satu website menulis :

The small estate village of Edensor, pronounced ‘Ensor’, is set in one of the most beautiful locations in the country in parkland owned by the Devonshire family, whose stately home at Chatsworth House is only five minutes walk away. Mentioned in the Domesday Book, the village has been re-sited since then. Originally it lay between the river and the road through the Park, when the houses were set out in a straggling line down to the Derwent.

Sayangnya gara – gara sibuk dikejar deadline pekerjaan saya tidak membaca keterangan di website tersebut dengan detil. Saya hanya menyimpulkan Edensor terletak di Derbyshire, bagian dari Peak National Park Area. Berpedoman pada Lonely Planet dan Google Earth akhirnya saya memutuskan untuk naik kereta saja dari London ke Derbyshire dan selanjutnya gimana nanti. Huh dasar kurang persiapan, semua dibikin ngedadak.

Tepat sebelum berangkat ke bandara saya baru sempat searching tiket kereta. Website National Rail UK sangat membantu (semoga Perumka suatu saat juga bisa seperti ini). Mereka memiliki journey planner yang canggih. Tinggal memasukkan nama stasiun tempat kita berangkat, nama stasiun yang dituju dan tanggal keberangkatan. Selanjutnya akan muncul semua jadwal kereta yang tersedia, harga tiket, hingga cara beli secara online. Hanya 15 menit di depan komputer dan akhirnya saya mendapat tiket kereta dari London ke Derbyshire, tiket paling murah seharga 19 pound (tiket termahalnya 143 pound untuk 3 jam perjalanan).

Hari pertama di London, pesawat mendarat pukul 7 pagi dan rencananya saya akan langsung menuju Edensor. Kereta dari London ke Derbyshire berangkat pukul 11.25. Sayangnya gara – gara masalah di tangga pesawat saya baru bisa keluar dari bandara Heathrow jam 9 pagi. Saya bergegas naik underground ke Hilton Hotel di daerah London Bridge, 2 kali pindah kereta sambil geret koper (ransel nampaknya memang lebih baik).

Jam 11 pagi saya baru tiba di hotel, check in, memasukkan koper ke kamar dan langsung berlari kembali menuju stasiun kereta. Tujuan kali ini adalah London ST Pancras station. Sepanjang jalan saya sudah was – was, takut ketinggalan kereta. Ini London Neng, kayanya sepertinya tidak mungkin berharap keretanya terlambat berangkat.

Menurut informasi di peta, London ST Pancras station terletak satu kompleks dengan King Cross dan London Bridge-King Cross station ternyata hanya 5 menit saja berjalan kaki. Saya hanya bisa berdoa semoga benar, karena tidak ada stasiun underground yang bernama ST Pancras.

Di King Cross saya sempatkan mengambil tiket kereta saya untuk ke Derbyshire di fast ticket machine, sangat mudah. Tinggal memasukkan no pin yang kita peroleh ketika membeli tiket secara online dan tiket kereta langsung tercetak.

Jam 11.15, tiket kereta sudah di tangan tapi saya tidak tahu kereta saya ada dimana. Untung ada seorang bapak baik hati yang memberi tahu : ST Pancras bukan di sini stasiunnya Neng, keluar dulu trus belok kanan….hua ternyata salah stasiun.

Untung hanya bawa backpack, saya segera berlari keluar stasiun menuju arah yang ditunjukkan si bapak, dan ternyata lumayan jauh. Saya tiba di ST Pancras pukul 11.20, tapi masih untung banyak juga penumpang lain yang baru datang. Rupanya bukan cuma saya yang datang mepet, akhirnya kami lari bersama menuju kereta…pas sekali, ketika peluit ditiup saya tiba di samping kereta, tidak  jadi ditinggal.

Tiket kereta saya yang seharga 19 pound  itu ternyata tanpa nomor duduk. Menurut Mba-Mba pengecek tiket kalau kosong duduk aja, tapi kalau penuh kamu harus berdiri ya. Untung siang itu keretanya sepi, saya dapat tempat duduk yang enak. Akhirnya bisa bernafas lega, duduk tenang, makan siang dengan apel plus kopi ditambah kue colongan dari lounge-nya Cathay Pasific.

Kereta yang saya naiki dari London bernama Midland Maine. Jalurnya : London – Sheffield – Derbyshire. Saya tiba di Sheffield jam 13.45 (tepat sesuai jadwal), turun, kemudian ganti kereta yang cuma dua gerbong menuju Derbyshire. Kereta ke Derbyshire penuh dengan orang – orang yang membawa ransel dan perlengkapan berkemah. Mulai dari sekelompok ABG yang sibuk bergosip di belakang kereta, pasangan cewe – cowo, pasangan Kakek – Nenek, sampai seorang Biksu berpakaian lengkap.

Kereta menuju Derbyshire berangkat jam 14.15 (tepat sesuai jadwal), saya mencoba bertanya – tanya tentang Edensor, tapi ternyata tidak ada juga yang tahu. Semua orang yang saya ajak ngobrol sangat ramah, kebanyakan dari mereka tinggal  London dan berencana berakhir pekan di Derbyshire.

Akhirnya saya memutuskan untuk turun di stasiun yang kira – kira paling menarik dan paling banyak orang turun. Tapi ternyata stasiun di Derbyshire ga cuma satu, ada banyak lagi stasiun kecil. Stasiun pertama – Grindleford, tidak banyak orang yang turun, saya memutuskan untuk turun di stasiun berikutnya – Hathersage. Ternyata di stasiun ini malah tidak ada orang yang turun dan stasiunnya sangat sepi. Ganti lagi ke stasiun ketiga – Bamford, cukup banyak yang turun termasuk ABG – ABG ganteng yang bawa tenda, tapi di Lonley Planet sama sekali tidak ada keterangan tentang Bamford, akhirnya saya tidak  jadi turun lagi. Stasiun berikutnya adalah Hope, cukup ramai tapi lagi – lagi tidak ada keterangan tentang Hope di Lonely Planet.

Sambil jalan saya membaca print-an tentang Edensor yang saya bawa, ah akhirnya ketahuan kalau Edensor adanya di daerah Matlock – Buxton. Tanya ke Pak Kondektur dan dia bilang kereta ini tidak lewat ke daerah sana. Yah sayang sekali, inilah akibat tidak teliti. Dan tiba – tiba kereta berhenti di stasiun berikutnya. Banyak juga yang turun. Akhirnya sambil kebingungan saya memutuskan untuk ikut turun di sini, Edale.

Pasangan Kakek – Nenek yang membawa ransel juga turun di sini, mereka tersenyum pada saya. Lega deh, setidaknya masih ada yang turun di sini. Seperti stasiun lainnya, stasiun ini juga kecil saja, tidak ada loket penjual tiket dan tidak ada penjaganya. Penumpang akan bayar tiket di atas. Legal tapinya. Pak Kondektur akan menagih, senjatanya mesin kecil yang dikalungkan di leher. Dia akan bertanya tujuan kita dan sekejap tiket tercetak. Tidak  mungkin bisa salam tempel.

Di plang stasiun tertulis : Edale for Kinder Scout, The Pennine Way and The Moorland Centre. Nampaknya turun di Edale bukan pilihan yang salah, minimal Edale tercantum juga di Lonely Planet. Kekecewaan saya karena tidak  jadi ke Edensor terobati. Edale ternyata tempat yang sangat indah. Sebagai bagian dari Peak District National Park, Edale sangat populer sebagai tempat berkemah dan trekking.

Surrounded by sweeping Peak District countryside at its most majestic, the tiny cluster of imposing stone houses and the parish church are eye catching in their own right.

Saya berjalan mengikuti pasangan Kakek – Nenek tadi. Mereka nampaknya sudah sangat sering kesini, masing – masing membawa ransel dan sang Kakek membawa gulungan tenda. Mereka masuk ke area perkemahan dan melambaikan tangannya kepada saya. Ternyata ini yang namanya The Moorland Centre, sebuah area perkemahan yang luas, di depannya ada parkiran mobil juga plang informasi. Area ini terbuka sepanjang tahun tapi kita harus melakukan reservasi dulu sebelumnya. Nampaknya berkemah merupakan salah satu kegiatan favorite ketika musim panas, di depan pintu gerbang ada plang dengan tulisan besar : Fully Booked.

Edale Village  ternyata kecil saja, hanya ada beberapa restoran kecil, sebuah toko makanan dan perlengkapan berkemah serta  tourist information centre – yang sayangnya saat itu sudah tutup. Akhirnya saya masuk ke toko makanan, lapar mata dan lapar perut juga, jajan sebatang coklat , air mineral dan mengambil majalah gratisan mengenai Peak National Park.

Edale Village

Di belakang toko terdapat juga areal berkemah. Parkiran mobil penuh dengan Land Rover dan mobil caravan. Tanpa tujuan pasti saya terus jalan ke arah utara. Ada sebuah plang menunjukkan arah ke Grindsbrook dan nampaknya menarik.

menuju padang rumput

Saya berjalan menyebrangi sungai, melewati daerah hutan yang gelap kemudian keluar di sebuah area terbuka yang penuh dengan domba ! He he ini hari pertama saya di Inggris dan saya disambut oleh serombongan domba putih yang gemuk – gemuk. Di depan saya ada seorang nenek yang berjalan sendirian. Masih sehat sekali. Di belakang saya ada seorang kakek dengan 2 cucunya. Masing-masing membawa peta dan daypack.

Domba dan Padang Rumput

Sejauh mata memandang yang terlihat adalah bukit hijau dan domba. Pagar batu dan rumah – rumah mungil di kejauhan terlihat sangat menarik. Saya memutuskan untuk berjalan ke atas bukit – Grindsbrook Clough dan berjanji pada diri sendiri untuk turun jam 4 sore.

Di belakang bukit ada jajaran ridge berwarna hitam, nampaknya itu yang namanya Kinder Plateau. Hmm bukan untuk saat ini, mudah – mudahan suatu saat nanti bisa kembali lagi dengan peralatan lengkap.

Di tengah jalan saya banyak bertemu orang – orang yang baru turun dari puncak bukit. Rata – rata mereka sendirian atau berdua. Ramah – ramah, tidak  jauh berbeda dengan situasi ketika kita naik gunung diIndonesia. Saling menyapa.

Berjalan ke atas bukit ternyata lumayan melelahkan, apalagi sebelumnya saya hampir 24 jam duduk di atas pesawat dan kereta. Indah sekali walau matahari mulai mundur ke balik awan dan kabut muncul. Harumnya lavender menjadi teman perjalanan yang menyenangkan.

Jam 4 lebih sedikit akhirnya saya tiba di tempat yang menurut saya adalah puncaknya Grindsbrook. Tidak ada lagi tempat yang lebih tinggi kecuali ke arah Kinder Plateau. Senang sekali duduk – duduk disini, akan saya ingat menjadi salah satu hari yang terbaik dalam hidup saya. Duduk di atas bukit memandang Edale Village yang indah walau hanya ditemani sebatang coklat dan sebotol air mineral.

Kurang lebih 10 menit saya duduk di puncakan dan memutuskan segera  kembali ke Edale. Bergegas berjalan karena takut kemalaman. Berkali – kali saya berhenti dan menoleh ke belakang. Terimakasih ya Allah, saya sudah bisa sampai ke sini. Tidak ada Edensor, Edale pun jadi.

Saya melewati jalan desa yang sama. Masih tetap sepi dan cantik. Tiba di stasiun dan ternyata pas sekali. Jam 16.45 ada kereta ke Manchester. Saya naik kereta itu dan selanjutnya menyambung kereta lagi ke London. Jam 11 malam saya sudah tiba di hotel, lelah dan langsung ketiduran.

2 jam saja di Edale. Tapi itu cukup. I will be back one day.

15 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *