MGN, Thought
comments 17

Tak Pernah Terucapkan Kata-Kata Cinta

Menuliskan ini ambyar rasanya, kalau boleh saya ingin skip saja Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini. Tapi saya sudah berjanji, setelah absen tiga bulan lamanya, bulan ini saya akan kembali dan akan jadi penyetor tercepat. Baiklah, mari kita mulai ya Mamah, saya akan sedikit berbagi catatan perjalanan hidup seorang May.

Sejak kecil, saya takut sekali dengan kehilangan, terutama terkait dengan berpulangnya orang-orang terdekat. Hal ini tidak pernah saya ceritakan dengan siapa-siapa, baru kali ini saya memberanikan diri menulisnya disini. Mimpi buruk saya di masa kecil adalah melihat ada bendera kuning di halaman rumah, tanda ada penghuni rumah yang meninggal dunia.

Tapi tentunya kematian, sama dengan kelahiran adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak dan akan terjadi pada semua mahluk hidup, dan akhirnya terjadi juga di keluarga saya, berpulangnya Mami saya di tahun 2015.

Sebelum meninggal, Mami sakit cukup lama. Saya ingat sejak saya SMP atau SMA, sebetulnya Mami sudah sakit-sakitan. Mami tidak pernah mau berobat ke rumah sakit, beliau lebih memilih pengobatan alternatif saja. Dulu, tugas saya adalah menemani Mami berobat, dari satu tempat ke tempat lainnya.

Ketika saya selesai kuliah, sakit Mami mulai parah. Kalau ditanya sakit apa, saya pun tidak bisa menjawabnya. Yang jelas Mami susah berjalan, mudah lelah, dan bukan satu dua kali Mami tiba-tiba pingsan di rumah, lalu terbangun lagi. Tapi sama keras kepala dengan anaknya (baca = saya), Mami tidak pernah mau diajak berobat ke rumah sakit.

Tahun 2009, setelah saya melahirkan Cici, alhamdulillah Mami mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah Haji. Sayangnya beberapa minggu sebelum berangkat kondisi Mami sempat drop, hampir saja tidak jadi berangkat. Saya ingat betul malam-malam saya menemukan sirup buah Noni yang konon bisa menyembuhkan apa saja, saya pesan malam itu juga untuk dikirim ke Bandung. Alhamdulillah cocok, Mami berangsur pulih, Mami bisa berangkat ke tanah suci dan kembali dengan selamat.

Setelah Mami kembali dari Mekah, saya meminta Mami untuk tinggal di rumah saya di Cibubur. Pertimbangannya sederhana saja, di Bandung tidak ada yang bisa menjaga Mami. Papi saya terlalu sibuk dengan hobby beliau, bukan hal yang negatif tapi memang tidak memungkinkan untuk Papi menjaga Mami.

Banyak kemajuan ketika Mami tinggal di rumah, setiap hari Mami masih bisa berjalan kaki keliling kompleks. Makan teratur karena anaknya galak, tidak boleh makan ini dan itu, wajib minum juice setiap hari, makan sehat. Walaupun susah berjalan dan tidak bisa menggendong, Mami ikut menjaga Cici yang saat itu masih bayi.

Sayangnya, Mami lalu minta pulang ke Bandung, saat itu memang Kakak saya akan menikah, ada satu dua hal yang harus Mami kerjakan. Dengan berat hati akhirnya saya merelakan Mami pulang ke Bandung, dan sejak itulah mimpi buruk menjadi nyata, yang menjadi tantangan hidup terbesar saya dimulai.

Setelah pernikahan Kakak saya, tiba-tiba Mami jatuh sakit. Saya ingat sekali detailnya, karena tidak bisa saya lupakan sampai saat ini. Saat itu bulan puasa, kami memang ada rencana untuk pulang ke Bandung dan pagi-pagi setelah sahur kami naik mobil ke Bandung. Setibanya di rumah, Mami minta diantar ke salah satu pengobatan alternatif yang ada di dekat rumah, katanya Mami pusing, dari kemarin muntah-muntah.

Setibanya di klinik, kami tetap harus mengantri, padahal saat itu kondisi Mami sudah sangat drop, muntah-muntah, panas tinggi, saya sudah sangat ketakutan. “Sialnya” ibu di klinik tersebut tidak mau mendahulukan Mami, kami tetap harus mengantri seperti biasa. Kami pun teringat dengan salah seorang pengobat alternatif di Ciparay yang dulu sering Mami kunjungi, kami memutuskan pergi kesana saja.

Tiba di Ciparay menjelang Maghrib, alhamdulillah Mami diterima dengan baik. Di sini Bapak A mengobati dengan memijat dan kemudian diberi ramuan untuk direbus dan diminum. Konon, menurut Bapak A, Mami nyaris kena stroke, muntah-muntah adalah reaksi tubuh Mami untuk melawan serangan itu. Mami mulai bisa diajak bicara, dan saat itu saya dan kakak-kakak memutuskan Mami untuk kembali tinggal di Jakarta, di rumah saya.

Malam-malam kami membawa Mami ke Jakarta. Mami saat itu sudah tidak bisa berjalan sama sekali, jadi saya dan suami menggotong Mami turun dari mobil dan Mami tidur di kamar tamu di lantai bawah. Selama di rumah Mami hanya bisa tiduran, makan pun harus dibantu, tidak bisa ke kamar mandi sendiri, Mami yang tadinya sangat kuat menjadi tidak berdaya, membuat hati saya hancur.

Kakak perempuan saya kemudian meminta Mami untuk tinggal di rumah beliau di Bandung. Secara logistik memang lebih baik karena kakak saya ada asisten rumah tangga yang bisa menemani sepanjang hari. Akhirnya Mami pindah ke Bandung, dan meneruskan pengobatan alternatif dimana-mana, bertahun-tahun sampai beliau meninggal dunia.

Mulai dari berobat di Brebes, yang ini super ajaib, Bapak B mengobati dengan cara mengambil “benda-benda” yang semestinya tidak berada di tubuh kita. Percaya ngga percaya, dengan mata kepala sendiri saya melihat benda-benda aneh diambil dari badan Mami.

Sempat juga saya menemani Mami berobat ke Sumedang, disini ada seorang ibu perawat yang konon bisa mengobati dengan cara mengeluarkan darah kotor dari kepala. Caranya super serem, tanpa bius, menggunakan pisau bedah, kepala bagian belakan pasien akan di iris dan darah pekat dibiarkan mengalir ke dalam ember. Nyaris pingsan saya melihat proses pengobatan ini, ajaibnya hanya dengan elusan tangan darah berhenti mengalir dan luka irisan tidak terlihat sama sekali.

Serem kan, cerita lainnya masih banyak lagi, kalau diniatkan mungkin saya bisa menuliskan buku tentang pengobatan alternatif di Pulau Jawa.

Saya, si keras kepala dan tidak pernah bilang I love you, menjalani masa-masa sakit Mami dengan kesedihan. Sekarang saya baru menyadari, ketika Mami sakit saya jarang sekali ngobrol dengan Mami, ngobrol dari hati ke hati. Saya hanya berusaha menjadi rasional dan fokus mencari alternatif pengobatan untuk Mami. Baru belakangan saya menyadari, sebetulnya saya takut, saya takut Mami pergi untuk selama-lamanya. Saya sayang banget sama Mami, tapi saya tidak mau mengungkapkannya dengan kata-kata.

Ternyata bertahun-tahun melihat Mami sakit adalah momen tersulit dalam hidup saya. Di satu sisi saya pernah meminta dengan Allah, tolong jangan perpanjang penderitaan Mami, cukup saja sampai disini. Tapi di sisi yang lain saya ingin Mami kembali sehat, bisa jalan-jalan ke rumah kami di Malaysia, dan siapa tahu nanti melihat cucu Mami di wisuda.

Sekarang kalau saya pikir-pikir lagi, kenapa kami dulu tidak nekat membawa Mami ke rumah sakit kan. Entahlah, sesal tidak ada gunanya memang. InshaAllah sekarang Mami sudah tenang, ngga sakit lagi kan ya Mi, dah boleh makan durian lagi.

Pesan moralnya, saya si sok merasa kuat ternyata tidak sekuat itu. Kelelahan naik gunung berhari-hari atau kerja lembur non stop dan kurang tidur tidak ada apa-apanya dengan bertahun-tahun melihat Mami dalam sakit. Adek sayang Mami, sampai ketemu lagi ya Mi.

Wahai Allah, ampunilah dan rahmatilah, bebaskanlah, lepaskanlah dia. Dan muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah jalan masuknya, cucilah dia dengan air yang jernih dan sejuk, dan bersihkanlah dia dari segala kesalahan seperti baju putih yang bersih dari kotoran, dan gantilah rumahnya dengan rumah yang lebih baik daripada yang ditinggalkannya, dan keluarga yang lebih baik, dari yang ditinggalkannya pula.

17 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *