Tentang Self Healing, Anak Jaman Now dan Keresahan Sebagai Orang Tua

Beberapa minggu terakhir ini ada beberapa unek-unek di kepala saya, sebetulnya bukan tentang saya atau keluarga terdekat, tapi ujung-ujungnya saya resah.

Awal ceritanya dari ini :

Tulisan curhat di atas saya temukan dari insta story seorang teman, sumber aslinya tidak saya ketahui, tapi belakangan saya baru tahu cuitan ini viral banget lho. Cuitan yang kaya akan bahasa anak Jaksel : self healing, self reward, healing, semuanya membuat saya resah.

Kenapa saya resah, karena saya tidak menyangka ini akan terjadi di anak muda jaman sekarang. Anak-anak gen Z yang sebagian besar sebetulnya bukan lagi anak-anak tapi orang dewasa muda. Sejujurnya kalau ini terjadi di anak saya sendiri (yang juga gen Z tapi masih imut-imut) mungkin saya akan “ngamuk” haha.

Sebelum itu terjadi lebih baik saya mempelajari dulu apakah yang sebetulnya terjadi saat ini. Bagaimanapun, saya sebagai orang tua millenial gen Y (yang berada di garis batas gen X) harus belajar juga dari anak muda jaman now kan.

Kasus kedua, dari seorang kenalan yang bercerita tentang rencananya untuk pindah universitas karena nilai ujian semester kemarin kurang baik, bahkan ada tiga mata kuliah yang harus mengulang. Dia merasa dia harus pindah karena dengan situasi sekarang dia tidak akan bisa mendapatkan gelar Master of Science, tidak sebanding dengan biaya kuliah yang sudah dikeluarkan. Memang dia hanya akan bisa mendapatkan Postgraduate Certificate saja.

Ketika pertama kali mendengar cerita kenalan saya ini lagi – lagi saya resah. Kuliah S2, overseas, dengan sponsor orang tua, tentunya tidak sedikit biaya yang dikeluarkan. Sejujurnya saya agak bingung kenapa dia tidak lulus tiga mata kuliah, padahal dengan status mahasiswa full time pastinya ada waktu untuk belajar dengan fokus kan. Cerita ini saya diskusikan dengan putri saya, lalu jawaban Cici cukup menohok : mungkin dia kurang berusaha Bunda haha.

Benang Merah

Dari dua cerita yang saya bagikan, ada benang merah yang cukup jelas : kurangnya daya juang, kalau bahasa psikologi-nya mereka tidak resilience. Apa penyebabnya ya ?

Perjalanan mencari jawaban pertanyaan di atas membawa saya ke salah satu tayangan YouTube dari Profesor Rhenald Kasali yang judulnya : Tahu Engga Healing itu Dibutuhkan Siapa ?

Banyak anak muda tiba-tiba mengaku butuh ini. Benarkah mereka mengalami trauma masa lalu yang penyembuhannya makan waktu berbulan-bulan? Sampai sudah bisa bekerja efektif? Apa jadinya kalau bawahan atau anak anda Terpapar Self Diagnosis dari curhatan sosmed?

Prof Rhenald Kasali

Menurut analisis Rhenald, ada empat faktor penyalahgunaan makna self-healing pada generasi muda saat ini.

  • Ada self-diagnostics yang disebabkan oleh kemudahan mengakses informasi, diagnosis mandiri ini akhirnya berujung pada kesalahan tafsir dan merusak pola pikir generasi muda, Contohnya cuitan tentang self healing di atas.
  • Lahirnya generasi baru “the strawberry generation” , generasi lunak seperti buah strawberry —generasi yang mudah rusak dan tidak kuat banting. Pengertian itu merupakan hasil pengamatan dari ilmuan dari Taiwan.
  • Narasi orangtua yang kurang sesuai yang sebenarnya berasal dari mayoritas orangtua yang suka memanjakan anak, memberi label negatif tertentu yang akhirnya tertanam hingga anak dewasa, dan orangtua yang suka memuji anaknya paling hebat. Padahal, di luar sana, mereka akan menemui anak lainnya yang lebih hebat, cantik, dan berhasil. Anak yang dididik dengan narasi yang kurang sesuai itu akan menjadi pribadi sombong, mendominasi, dan mudah tersinggung.
  • Terlalu cepat ambil kesimpulan untuk lari dari kesulitan akhirnya healing digunakan sebagai pelarian. Padahal, anak muda harus paham, bahwa kemenangan orang hebat adalah ketika ia mampu memanajemeni hidupnya dengan baik—tangguh, pantang menyerah, serta kerja keras.

Sangat menarik kan, saya amini analisis beliau. Selanjutnya adalah memikirkan apa yang harus saya lakukan untuk mengurangi keresahan ini dan menyiapkan putri saya agar menjadi generasi yang tangguh, tahan banting dan resilience.

Resilient kids are happy kids. Happy kids mean happy parents. It’s never too soon to start supporting your children to develop their resilience. By doing so you will set them up for a happier, healthier and more successful future ahead of them.

Building Resilience In Kids ‒ 5 Important Skills We Can Learn From Animals (brainzmagazine.com)

Dari beberapa tulisan yang saya baca, bisa saya simpulkan ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan semangat daya juang anak. Diantaranya sebagai berikut :

  1. Self awareness, self esteem, dua hal yang sederhana dan sebaiknya diajarkan kepada anak sejak kecil. Bahwa menjadi berbeda itu tidak apa-apa, menghargai proses, tidak perlu khawatir dengan pendapat orang (selama dalam prinsip yang benar), bahagia karena dirinya sendiri, bukan karena orang lain, dan ngga usah jadi FOMO. Be your self kiddos.
  2. Gratitude, bersyukur dan berterimakasih untuk semua hal. Cara berpikir ini akan membantu anak (dan orang tua) untuk selalu melihat sisi positif walaupun ketika gagal atau kalah. Para ahli berpendapat ini akan membuat anak lebih bahagia dan juga promotes positive mental health (biar ga usah dikit-dikit self healing haha).
  3. Exercise, your brain is fitter and works better. Penelitian membuktikan bahwa anak – anak yang aktif secara fisik akan lebih berhasil di sekolah. Tentang kaitan olahraga dan kecerdasan pernah saya tuliskan di sini.
  4. Learning to face conflict and develop problem solving skills. Banyak cara untuk melatih ini, bahkan bermain games juga merupakan salah satu cara untuk berlatih problem solving.

Ternyata banyak sekali PR menjadi orang tua ini ya haha, tugas yang sangat berat untuk mempersiapkan putra-putri kita nanti terjun ke masyarakat. Teman-teman pastinya ada pendapat dan tips untuk mengembangkan semangat daya juang anak, tinggalkan pesan di kolom komentar ya.

Disini bebas beropini, karena ini tulisan untuk Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret dengan tema Opini :).

Featured image : Canva

14 Comments on “Tentang Self Healing, Anak Jaman Now dan Keresahan Sebagai Orang Tua”

  1. yang kurang di jaman sosmed ini adalah pengenalan diri sendiri. semua cepet banget mengadopsi istilah yang beredar. mudah menyalahkan inner child lah, butuh healing lah, merasa depresi lah. memang isu mental health itu nyata, tapi semua orang jadi memakainya untuk membenarkan kesalahan yang dilakukan, makanya jadi bonyok kayak stroberi hasilnya.

    1. sosial media memang pedang bermata dua, harus hati-hati banget. Mengadopsi istilah tanpa tahu arti yang sebetulnya, lagi-lagi PR orang tua untuk mendampingi hehe. Semangat terus kita ya Risna.

  2. “Didiklah anakmu sesuai dengan jamannya” ternyata benar ya teh. Tips yang diatas, well noted lho teh, saya copas untuk ngedidik anak2 saya juga yaa 🥰

    1. Alhamdulillah kalau bermanfaat ya Lia. Oh iya betul banget soal Didiklah anakmu sesuai jamannya, jadi orang tua memang harus terus belajar 🙂

  3. keren banget ini artikel … aku punya 3 anak nih ya ada pernah miriplah masa mereka down, saat kuliah. nah betul sekali daya juang dan kemampuan bertahan juga bangkit ini perlu diajarkan sejak dini.
    bisa saja kan kita jatuh … nilai jelek bahkan gak lulus satu dua bahkan lebih mata kuliah … banyak hal yang kadang kan gak sesuai rencana kita. nemuin hikmah dan bisa ambil sisi positif itu juga penting ya teh …

    aku suka opini teteh ini …
    salam semangat

    1. Haturnuhun Teh Dewi, kapan-kapan pengen baca tulisan Teh Dewi juga tentang anak-anak ya Teh, pasti banyak pelajaran berharga.

  4. Iya baca status itu aku juga jadi gemes sendiri. Tapi sebagai orangtua prihatin, takut anak bisa gitu juga (naudzubillah min dzalik). Tetep sih ini PR ortu ya. Gimana agar anak tidak gampang menyerah.

    1. Toss Andina, aku tuh sampai kepikiran terus hehe. PR banget untuk orang tua juga memberi contoh langsung, biar anak tidak gampang menyerah.

  5. PR berat buat orangtua jaman sekarang ya teh. Saya juga pas baca itu sampai speechless, dan di sisi lain langsung khawatir anak-anak saya yang masih kecil apakah akan terpapar hal seperti itu juga? Soal self-diagnose itu bener banget sih ya, hanya paham setengah-setengah soal mental health, tapi berani selfie diagnose. Cape dikit langsung bilang depresi, butuh healing inilah apalah. Semoga kita bisa mendidik anak-anak kita jadi tangguh ya teh 💪😁

    1. Gemes kan ya Echa, aku juga langsung ingat anak, jangan sampai deh kejadian.
      Semangat ya Echa, InshaAllah kita bisa.

  6. Ini nyambung sama opininya teh Andina juga nih sebenarnya. Berapa waktu me-time/healing dibandingkan kewajiban kehidupan kita sebenarnya? Jangan-jangan kebanyakan healingnya dibanding masalahnya hahaha.

    Yah itulah tantangan kita jadi ortu ya May. Bukan cuma supaya anak rapornya bagus tapi ya sebenarnya supaya mereka siap jadi manusia dewasa yang tangguh. Ada quote yang pernah aku baca katanya: pendidikan memiliki tujuan utama untuk mempersiapkan anak menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab. Kepintaran dan keahlian hanyalah tujuan sekundernya.

    Lupa dari siapa, tapi mungkin bisa membuat para ortu/sekolah yang terobsesi dengan nilai rapor untuk ingat kalau nanti pas anaknya besar bukan cuma soal rapor/IP semata, tapi apakah mereka tangguh di dalam kehidupan.

    Good reminder, thanks May tulisannya!

    1. Aku baru mau BW hehe, tapi penasaran memang lihat judul tulisan Andina, masalah 1 jangan sampai healingnya 10x ya hehe.

      Betul banget Dea, aku setuju, tujuan pendidikan yang utama adalah menjadi orang dewasa yang bertanggung-jawab, bukan hanya semata-mata pintar atau juara kelas.
      Semangat kita ya Dea, saling mengingatkan.

  7. Keren banget May tulisan opininya. Sekaligus menjadi sebuah alert buat saya. Saya langsung nge-trace apa yang saya dan Pak Su lakukan dalam mendidik anak kami, apakah ada yang terlalu memanjakan, dan semacamnya.

    Semoga anak-anak kita bisa tumbuh menjadi manusia yang tough dan resilient ya May. Insha Allah.

    Aduh membacanya agak lemes, dikit-dikit healing, dikit-dikit reward. 🙁

    Healing betul-betul diperlukan oleh mereka yang mempunyai luka yang mendalam, dan atau traumatis. Jika masalah ‘dikit’ aja merasa dunia akan runtuh, bagaimana bisa menghadapi dunia. 🙁

    1. Alhamdulillah kalau bermanfaat ya Uril, sama-sama kita saling menguatkan, saling mengingatkan. Agar anak-anak kita strong lahir batin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *