“Ndrooo, lo udah tidur belum Ndro ?”
Perlahan, nyaris berbisik kupanggil Indro, teman seangkatanku yang bivak-nya tepat berada di sebelahku. Mudah-mudahan Indro belum tidur, aku perlu teman bicara.
“Kenapa Kei, lo ngga tidur? Istirahat Kei, entah besok apalagi yang akan terjadi, mendingan kita istirahat sekarang, jangan lupa sepatu lo siapin juga, siapa tahu nanti malam kita dibangunkan lagi”. Indro berbisik-bisik dari bivak sebelah.
“Ndro, kalau besok belum selesai juga, gw mau pulang Ndro, lo temenin gw ya. Gw harus pergi ekspedisi ke Sulawesi dengan anak Mapala, gw harus pulang Ndro.”
“Seriusan lo Kei ? jangan dong Kei, sedikit lagi gw yakin ini akan selesai, lo sabar ya. Kita udah sama-sama setahun ini, kita selesain sama-sama juga, sedikit lagi Kei, kita pasti bisa”. Indro terdengar kuatir, dia pasti berpikir aku sudah tidak tahan lagi.
Aku memilih diam, tidak menjawab. Beberapa kali Indro memanggilku lagi. Kalau dalam situasi normal, aku yakin Indro akan langsung menemuiku. Tapi, malam ini, di tepi Situ Cileunca yang gelap mencekam, bercakap-cakap dengan normal pun tidak memungkinkan. Itu sama saja bunuh diri.
Badanku lelah luar biasa, tapi aku tidak bisa tidur. Malam ini kami harus membuat bivak solo dari ponco, sebetulnya cukup nyaman, tapi baju dan sleeping bag-ku sudah basah semua. Tadi sore kami melakukan penyebrangan basah. Menyebrangi Situ Cileunca yang berlumpur, tanpa alat dan tanpa pengaman, alih-alih ransel kami jadikan pelampung. Mungkin packing ranselku kurang rapih, ada juga air danau yang masuk.
Entah hari keberapa, aku sudah tidak bisa lagi mengingatnya, mungkin 12 atau 14 hari aku mengikuti Diksar BUMI. Agak berbeda dengan yang lainnya, di jurusanku Ospek Jurusan dikenal sebagai Diksar- Pendidikan Dasar. Syarat wajib untuk menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Bumi dan tentunya untuk mendapatkan jaket kuning kebanggaan itu, identitas anak BUMI.
***
Pendidikan Dasar Himpunan Mahasiswa Bumi memang bukan main-main, tidak mudah. Diksar yang terkenal mengerikan, bukan saja fisik tapi juga mental. Kudengar-dengar, pernah ada peserta Diksar BUMI yang meninggal dunia. Sekedar jatuh sakit sudah biasa.
Proses kaderisasi ini sebetulnya berlangsung selama setahun, sejak pendaftaran ulang mahasiswa baru Institut Gajah. Masih lekat di ingatan ketika para BUMI berjaket kuning menyapaku ramah di pintu keluar GSG. Mahasiswa-mahasiswi baru Jurusan Bumi dikumpulkan di depan himpunan dan mendapat sedikit wejangan. Rasanya saat itu kagum dan bangga sekali, semua senior Bumi dan Bumiwati nampak gagah, dalam hati kuucapkan : aku mau jadi anak BUMI.
Di awal semester kedua, kami bertemu kembali dengan para senior yang tidak mau dipanggil Mas dan Mbak.
“Kapan aku kawin dengan Mbak-mu ?” jawab seorang senior yang dipanggil Mas oleh ketua angkatanku.
Saat itu secara resmi proses kaderisasi dimulai. Bukan saja kami digembleng secara fisik tapi juga kami melakukan berbagai aktifitas untuk menjalin kebersamaan dan kekompakan diantara angkatan kami.
Tapi seleksi alam, satu-demi satu temanku berguguran. Terlebih setelah ada surat resmi dari ketua jurusan dikirim ke rumah : Diksar Bumi adalah ilegal, tidak ada beasiswa untuk semua peserta diksar. Akibatnya, setengah dari teman angkatanku memilih mundur. Aku sendiri memilih untuk tetap pergi, aku mau jadi anak BUMI, berjaket kuning, lagipula Ayah dan Ibu mendukungku, menurut mereka, rejeki bisa dicari.
Awal Agustus 1999, hari pertama Diksar Kampus. Rasanya ada lebih dari 20 orang yang datang, semua teman-temanku nampak gagah dengan celana hitam lapangan dan kemeja flanel. Bersepatu gunung, bertopi rimba dan membawa ransel besar, siap tempur.
Aku berangkat dari rumah dengan semangat, tekadku hanya satu, selesai Diksar dengan selamat, setelah itu aku akan pergi dengan teman-teman Mapala-ku, ke Sulawesi. Semester kemarin, selain sibuk mengikuti proses Diksar, aku dan teman-teman Mapala-ku juga sibuk mempersiapkan ekspedisi. Kami berencana membuka jalur pendakian di salah satu gunung di Sulawesi.
Kalau hitunganku tepat, seharusnya aku bisa pulang sebelum hari keberangkatan. Tapi entah, rasanya lama sekali Diksar ini, itu sebabnya aku mengajak Indro untuk pulang besok. Bagaimana caranya, akupun tidak tahu.
Aku tetap tidak bisa tidur, di luar sana terdengar suara gelak tawa para BUMI. Mungkin mereka sedang asik membicarakan “kebodohan-kebodohan” kami hari ini.
***
Saat Diksar Kampus, satu-persatu temanku jatuh sakit. Mereka yang sakit harus memakai syal hijau dan dianggap tidak layak berangkat ke lapangan. Aku sendiri sempat menjadi bagian dari syal hijau, CABU – CAlon BUmi lontong. Di hari terakhir Diksar Kampus, di siang hari bolong kami diminta berlari dari kampus ke Dago Bengkok, dan tiba-tiba saja aku terjatuh.
Sedih rasanya melihat teman-temanku yang lain naik truk berangkat ke lapangan. Tapi keesokan harinya, di tengah malam tiba-tiba mataku ditutup. Aku, dan beberapa CABU lontong lainnya diminta naik mobil dan kami diturunkan di tengah kebun teh, bertemu kembali dengan teman-teman yang lain.
Hari-hari berikutnya sebetulnya aku tidak mengingatnya dengan jelas. Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, berjalan kaki. Rutinitas yang sama setiap harinya : bangun, memasak sarapan, sarapan, membongkar bivak, packing, long march, makan siang, long march, tiba di camp yang baru, membuat bivak, memasak makan malam, makan malam, tidur, dibangunkan tengah malam, tidur kembali. Begitu setiap hari.
Mandi ? sepanjang ingatanku tidak ada kesempatan untuk mandi sama sekali. Bahkan mengganti baju pun hanya saat tidur. Baju flanel merah dan celana lapangan ini sudah kupakai dari hari pertama Diksar Kampus, bau kami semua sama, bau CABU.
Sebetulnya aku cukup terbiasa dengan aktifitas seperti ini, kurang lebih sama dengan mendaki gunung kan. Bedanya saat Diksar selalu ada Bumi dan Bumiwati yang bisa menemukan kesalahan-kesalahan kami, para CABU. Selalu ada kejutan-kejutan, bangun tengah malam itu biasa. Packing dalam hitungan juga biasa.
Sebagai satu-satunya perempuan pun tidak ada keistimewaan yang kudapat, semua sama. Oh mungkin ada satu hal istimewa, aku selalu berjalan di depan, di belakang Danlap, si komandan lapangan yang gagah.
Beruntung teman angkatanku semua sangat baik. Kami selalu memberi semangat satu sama lain. Indro, Bugi, Tino, Herman, Andi, dan lainnya, semua sangat baik kepadaku.
***
“Perhatian CABU, dalam 25 hitungan, xxxxxxxxx !”
Aku panik luar biasa, setelah semalaman susah tidur aku lupanya sempat terlelap. Indro memanggil-manggilku dari bivak sebelah. Aku bergegas bangun, memakai sepatu dan tidak lupa memakai ikat kepala kuningku.
Bergegas kubongkar bivak dan packing barang-barangku, asal masuk. Aku tidak mengira sepagi ini kami harus packing kembali. Indro membantuku packing dan bergegas kami berlari ke depan Danlap.
Aku sudah pasrah.
Kami disuruh berbaris memanjang di tepi danau. Membawa ransel, menghadap ke arah danau. Aku masih bertanya-tanya. Apalagi yang harus kami lakukan di pagi buta seperti ini. Mungkinkah kami akan disuruh melakukan penyebrangan basah lagi ?
Danlap berbicara banyak hal tapi aku sudah tidak bisa mendengar apa-apa. Hingga akhirnya kami diminta berbalik badan.
Disana semua Bumi dan Bumiwati berjaket kuning berbaris rapi.
Aku masih tidak bisa mencerna apa yang terjadi, sampai Mia, salah seorang Bumiwati yang baik hati menghampiriku, memeluk dan menyerahkan jaket kuningnya.
“Selamat Bumi Kei !” ucap Mia sambil tersenyum.
Penutup
This story is completely true, except for all the parts that aren’t.
Angkatan saya, kebetulan adalah angkatan terakhir yang mengadopsi/diperbolehkan melakukan kaderisasi himpunan dengan pola lama, sejak diksar pertama kali dikukuhkan namanya di tahun 1981. Walaupun tempatnya berpindah-pindah tapi secara umum dilakukan kegiatan yang sama dengan tujuan untuk menjalin kebersamaan, jiwa korsa dan kepekaan. Saat angkatan saya, diksar lapangan bermula di Gunung Halu- Cililin, melintas pegunungan selatan ke area Situ Patengan dan Ranca Bali – Ciwidey, dan ditutup di Situ Cileunca – Pangalengan.
Tapi sebetulnya bukan saja proses kaderisasi, diksar juga mengadopsi proses bekerja di lapangan sebagai seorang ahli Geologi. Geologist yang baik bukan saja pintar dan mengetahui hal-hal tentang ilmu kebumian tapi sebaiknya kuat fisik dan mental. Saat diksar kami juga belajar membaca peta, navigasi darat dan survival, hal-hal yang sangat berguna bila suatu hari kami bekerja di lapangan, misalnya saat melakukan pemetaan geologi.
Bertahun-tahun kemudian, saya selalu mengingat sebetulnya banyak hal baik yang saya dapatkan dari mengikuti diksar (sebagai peserta dan sebagai panitia) dan menjadi anak GEA. Bukan saja lifetime friendship tapi juga kepercayaan diri dan keberanian, bahwa I can do it ! Saat sudah bekerja, walaupun saya tidak bekerja sebagai Geologist di lapangan tapi saya harus sanggup bekerja di tengah malam, misalnya saat melakukan drilling/logging monitoring. Atau ketika saya harus bekerja di offshore rig, lagi-lagi jadi paling cantik sendiri, itu tidak masalah. We can do it !
Diksar GEA, walaupun dikenal sadis, tapi sebetulnya sangat memperhatikan hal teknis dan safety. Selalu ada tim medis standby, bahkan sebelum berangkat ke lapangan pun diadakan medical check up. Walaupun saya amini juga ada satu dua oknum yang berbuat di luar rencana. Di angkatan saya, salah seorang teman menderita Amnesia, beliau akhirnya pindah kampus. Alhamdulillah sekarang beliau baik-baik saja. Tahun berikutnya, Diksar GEA dipersingkat waktunya, tapi lagi – lagi ada korban, saat itu seorang adik kelas menderita gagal ginjal, konsekuensinya ketua himpunan nyaris dikeluarkan.
Saya tidak tahu bagaimana proses Diksar GEA sekarang, tapi sebagai orang tua saya berharap pola yang sama dilanjutkan. Tentunya dengan persiapan yang lebih baik dan matang, lebih banyak manfaat daripada mudharatnya kok hehe.
Terimakasih GEA, 1..2..3… GEA !
Featured image : Diksar GEA angkatan 1998 di Situ Cileunca. All pictures taken by Shanty R Anggari.
Cerita diksar ini ditulis untuk memenuhi Tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret 2022 : Cerita Fiksi dengan Unsur ITB. Makasih ya Mamah, seru banget ternyata, jadi bernostlagia 🙂
Terimakasih apresiasinya ya Mamah.
26 Comments