Awal Juli 2019, kami (saya) sedang merencanakan perjalanan keluarga di bulan Agustus. Rencananya kami akan mendaki Gunung Latimojong di Sulawesi Selatan dilanjutkan dengan perjalanan darat ke Palu untuk menemui sahabat saya Tyas kemudian naik pesawat untuk kembali ke Makassar. Tapi seperti biasa anak kecil request untuk main ke pantai juga. Pilihan saat itu adalah Kepulauan Togean yang terletak di Teluk Tomini.
Jujur sebelumnya saya tidak pernah mendengar tentang Togean, menemukannya pun dengan tidak sengaja, hanya karena Togean tepat berada di tengah – tengah antara Latimojong dan Palu.
Setelah rute perjalanan ditentukan barulah saya menyempatkan diri untuk mencari tahu mengenai Togean, bagaimana menuju kesana dan yang pasti disana nginap di mana dan ngapain aja. Surprisingly, sedikit sekali info tentang Togean yang bisa saya dapat di internet, itupun kebanyakan dari blogger – blogger luar negeri. Bahkan Tyas yang sudah 16 tahun tinggal di Palu-pun ternyata hanya pernah sekali saja ke Togean, karena urusan pekerjaan.
Persiapan Menuju Togean
Info terlengkap mengenai cara menuju Togean saya dapat dari website Kadidiri Paradise, ternyata ada beberapa pintu masuk menuju Togean, bisa melalui Ampana atau melalui Gorontalo. Togean sendiri terdiri dari banyak pulau – pulau kecil, sedikitnya ada 56 pulau yang tersebar di Teluk Tomini, dan pulau terbesarnya adalah Wakai. Satu-satunya alat transportasi yang tersedia tentunya adalah via laut. Karena kami datang dari arah Sulawesi Selatan tentunya Ampana akan menjadi titik masuk ke Wakai, tapi bagaimana caranya menuju Wakai ?
Ada beberapa pilihan kapal untuk menuju Wakai, kapal umum dan kapal cepat. Menurut info yang saya dapat kapal umum tidak ada setiap hari, dan kapal ini lama sekali, bisa seharian. Paling ideal memang kapal cepat, tapi masalahnya lagi hanya ada dua kapal yang beroperasi melayani rute Ampana -Wakai, yaitu Cahaya Manakara dan Hercules. Hercules meninggalkan Ampana pukul 9 pagi dan Cahaya Manakara pukul 1 siang, beroperasi satu kali saja satu hari. Harga tiketnya IDR 130 K sekali jalan, untuk jarak tempuh 1.5 jam. Tapi katanya speedboat ini cepat penuh sehingga memang disarankan untuk memesan tiket sebelumnya. Tapi sayangnya saya ngga menemukan info pemesanan tiket ini secara online. Saat itulah saya baru mengerti kenapa Togean tidak populer, sedikit sekali informasi tersedia dan memang tidak mudah untuk mengatur perjalanan kesana.
Akhirnya saya mencoba cara lain dengan menghubungi beberapa penginapan berdasarkan info yang saya dapat dari internet. Satu fakta baru yang saya temukan, ternyata di Togean (selain di Wakai) tidak ada sinyal handphone, jaringan telpon apalagi internet. Beberapa hotel mempunyai kantor atau representatif di Ampana, tapi ada juga yang hanya mengandalkan internet dari langit, hasil memanjat pohon kelapa di area tertentu untuk bisa menangkap sinyal handphone.
Dari beberapa penginapan yang saya hubungi hanya 3 yang membalas pesan saya melalui email atau whatsapp. Kadidiri full sampai akhir Agustus, hotel ini memang terkenal di kalangan divers luar negri yang biasanya akan menginap berminggu-minggu. Fadhila Cottage hanya membalas satu kali, sampai akhirnya alhamdulillah saya menemukan Bolilalanga Island Resort.
Melalui whatsapp saya berkomunikasi dengan Pak Dadang, dan ternyata betul dugaan saya Pak Dadang ini one stop service alias palugada, beliau menolong kami untuk booking penginapan, sewa mobil yang akan menjemput kami dari Toraja, membelikan tiket kapal sampai-sampai memesankan tiket travel Ampana – Palu, alhamdulillah.
Akhirnya satu minggu tepat saya habiskan untuk mengatur perjalanan kami ke Togean, lama banget kan haha.
Menuju Togean
Rabu, 21 Agustus 2019. Malam sebelumnya kami tiba di Rantepao, dan menginap di Hotel Indra Toraja. Pagi harinya kami sempatkan berkeling obyek wisata terkenal di Toraja. Saya dan suami sama-sama sudah pernah ke Toraja, hanya Cici yang belum pernah. Singkat saja, kunjungan kali ini, karena jam 1 siang kami harus jalan ke Ampana.
Jarak Rantepao ke Ampana sekitar 512 km, kalau di Jawa kurang lebih sama dengan jarak dari Bandung ke Magelang yang biasa ditempuh dalam 5-7 jam saja. Awalnya saya ingin berangkat dari Toraja sore hari saja, tapi Pak Dadang bilang sebaiknya jangan Bu, ini Sulawesi, yang serba tidak terduga. Oh ya betul juga, saya teringat pengalaman saya dan suami tahun 2007 lalu. Saat itu kami naik bis dari Menado ke Palu, seharusnya hanya 15 jam saja dari Menado ke Palu, tapi malam itu bis kami mengalami kecelakaan, setengah badan bis masuk jurang dan kami harus menginap semalam di hutan. Kalau di ingat – ingat sekarang agak lucu juga, tengah malam kami berjalan menuju desa terdekat dan mengetuk pintu rumah penduduk untuk numpang tidur. Perjalanan Menado-Palu yang harusnya 15 jam menjadi 39 jam saja, kami baru tiba di Palu satu hari kemudian.
Dan betul saja, baru saja keluar Rantepao, Pak Muhlis – supir mobil bercerita ada jembatan putus. Akhirnya kami harus mengambil jalan memutar yang memang menambah waktu perjalanan. Jangan bayangkan jalanan di Jawa yang mulus, sebagian besar jalan di Sulawesi kondisinya kurang baik.
Sore hari kami sempatkan berhenti untuk istirahat di Masamba. Pak Muhlis menyarankan untuk mencoba Kampoeng Cokelat Chalodo, sebuah cafe yang menjual aneka produk berbahan dasar coklat sekaligus restoran. Menarik juga, es coklatnya enak, dan yang lebih menarik lagi, di sebelah cafe ada gerobak gorengan yang langsung kami serbu haha.
Perjalanan kami lanjutkan selepas Maghrib, Cici sudah tertidur di belakang, jalanan makin rusak dan saya pun ikut ketiduran sampai suami membangunkan untuk makan malam. Pukul 9 malam dan kami tiba di Mangkutana. Di sekitar rumah makan gelap gulita, saya hanya bisa melihat kolam-kolam ikan di kejauhan. Sayang sekali kami tiba kemalaman, padahal Danau Poso dekat saja dari rumah makan ini. Dari dulu saya penasaran ingin mengunjungi Danau Poso, danau ketiga terdalam di Indonesia, mungkin pertanda suatu hari kami harus kembali lagi kesini.
Makan malam kami di Lesehan Mangkutana sangat enak, sederhana khas Sulawesi, tumis daun pepaya, ikan bakar, tumis udang dengan Es Jeruk yang segar banget. Menuliskan hal ini dan melihat fotonya mendadak membuat saya lapar. Makanan Indonesia memang juara dunia.
Selepas makan malam kami melanjutkan perjalanan lagi dan saya tertidur, beberapa kali sempat terbangun karena mobil berhenti untuk menunggu giliran jalan atau karena mobil harus berjalan perlahan karena jalanan yang sangat rusak. Wajah lain Indonesia yang menyedihkan.
Pagi hari menjelang pukul 7 akhirnya kami tiba di Ampana. Kota kecil tepi pantai yang menyenangkan. Kami singgah di warung kecil di depan sekolahan. Kalau makan malam di Mangkutana kemarin sangat enak, ternyata sarapan kami di Ampana ini luar biasa enak.
Pak Muhlis memilih nasi kuning, sarapan pagi yang populer di Sulawesi. Bedanya dengan nasi kuning di Bandung, biasanya nasi kuning Sulawesi disajikan dengan ikan sambal. Enak rasanya. Tapi pagi itu kami memilih menu lain yang ngga kalah enak, Ikan masak asam dengan tumis kangkung. Menu favorit saya banget, sampai saat ini di rumah ikan masak asam ini punya nama sendiri, ikan kaya di Ampana haha.
Selepas sarapan kami menuju rumah Pak Dadang. Di luar dugaan kami ternyata Pak Dadang ini orang Bandung yang sudah lama merantau di Ampana, berasa ketemu saudara di kampung orang. Selain jadi perwakilannya Bolilanga Island, ternyata Pak Dadang ini juga punya homestay. Triple R namanya, very recommended . Boleh juga nih untuk transit sebelum dan sesudah ke Togean.
Di homestay Pak Dadang kami numpang ke toilet dan sempat juga ngobrol – ngobrol sebentar. Betul dugaan saya, menurut Pak Dadang sangat jarang turis Indonesia datang ke Togean. Kebanyakan yang menginap di homestay divers-divers dari Eropa. Sekali datang mereka bisa berminggu-minggu disana. Bisa dihitung jari orang Indonesia yang pernah Pak Dadang temui.
Sungguh ironi kan, saya yakin Togean punya potensi pariwisata yang besar, hanya perlu sedikit sentuhan agar mudah dikunjungi.
Selepas ngobrol-ngobrol akhirnya kami pamit dan Pak Muhlis mengantar kami ke pelabuhan. Tiket kapal Hercules sudah dibelikan oleh Pak Dadang sehingga kami tinggal membayar tiket masuk ke Taman Nasional Togean. Tepat pukul 9 pagi kami meninggalkan Ampana menuju Togean, senang sekali, laut Togean yang berwarna biru tosca mulai terlihat, sangat cantik.
Speed boat kami penuh sesak, selain turis (yang semua bule kecuali kami) ada juga penduduk lokal yang baru pulang berbelanja dari Ampana. Boat ini boleh berhenti di mana saja, sesuai tujuan penumpang, dengan tujuan akhir di Wakai.
Pukul 10:30 pagi kami tiba di Wakai, disini kami harus turun dan pindah kapal. Menurut Pak Dadang nanti akan ada kapal lain yang akan mengantar kami ke Bolilanga. Betul saja, ketika kami turun ada seorang bapak yang menyapa saya dan kemudian membantu kami mengangkat ransel dan memindahkan ke kapal lainnya.
Pelabuhan Wakai ternyata kecil saja, kebanyakan pengunjung memang hanya akan transit di Wakai untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke penginapan masing – masing, di pulau pulau kecil di sekitar Togean.
Kapal yang akan membawa kami ke Bolilanga ternyata kapal kayu kecil bermotor, selain kami bertiga ada pasangan bule Austria yang tadi ada di Hercules. Mereka akan menginap di penginapan lain di dekat Katupat.
1.5 jam perjalanan dari Wakai ke Bolilanga, perjalanan yang menyenangkan, laut biru, angin sepoi-sepoi, sepanjang perjalanan kami betul-betul dimanjakan oleh laut Togean yang cantik. Beberapa kali kami melewati perkampungan di atas air dengan rumah-rumah yang memiliki halaman laut biru, priceless.
Tidak sia-sia perjalanan panjang ke Togean, semua terbayar kontan di jam-jam pertama. Ngga salah quote yang dituliskan di Lonely Planet : It takes determination to get to the Togean Islands – but it takes far more determination to leave Togean.
Pingback: [DIY Backpacking] SULAWESI - sereleaungu