Sedari kecil buku adalah sahabat saya, teman baik dimanapun dan kapanpun. Mami saya bilang, sejak bisa membaca saya tidak pernah lepas dari buku. Apa saja saya baca, novel, komik, surat kabar sampai text book kuliah.
Percaya ngga percaya, salah dua buku favorit saya ketika SMP adalah buku-buku kakak yang kuliah Antropologi. Buku pertama adalah buku tebal lebih dari 1000 halaman yang berjudul ANTROPOLOGI. Buku pengantar kuliah yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris dan bercerita mengenai asal-usul ilmu Antropologi, tentang manusia dan peradabannya di seluruh dunia.
Buku kedua berjudul Manusia Jawa dan Gunung Merapi, ditulis oleh Lucas Sasongko Triyoga, seorang Antropologist dari UGM yang kemudian menjadi jurnalis di Kompas. Penulis meneliti hubungan masyarakat yang tinggal di lereng Gunung Merapi dan hubungannya dengan Merapi. Buku yang sangat menarik dan akhirnya saya bawa kemana-mana. Barusan saya cek, masih ada di rak buku, perjalanan panjang dari rumah kami di Cimahi di tahun 1990-an sampai sekarang di Kuala Lumpur, 32 tahun.
Kedua buku yang saya ceritakan ini ikut membentuk mimpi saya sejak SMP. May kecil yang tadinya ingin menjadi dokter punya mimpi baru : menjadi wartawan, kuliah Antropologi di UI dan ikut Mapala UI. Spesifik ! Ketiganya tidak ada yang tercapai, menjadi wartawan nyaris saja, kuliah Antropologi UI gagal gara-gara reformasi 1998 – orang tua menyarankan saya kuliah di Bandung saja karena pertimbangan biaya dan situasi rawan di Jakarta saat itu. Subsequently Mapala UI juga gagal, karena syarat ikut Mapala kan harus jadi anak UI.
Tapi sebetulnya saya nyaris jadi anak UI. Tahun 2013 saya mengikuti ujian masuk program Magister Antropologi UI, diterima, tapi tidak jadi lagi karena kami memutuskan pindah ke Kuala Lumpur. Ces’t la vie, sekarang saya jadi teringat lagi dengan mimpi ini. Apakah ini pertanda saya harus kuliah lagi ?
Ada dua buku lain yang ingin saya ceritakan sekarang. Sama seperti ANTROPOLOGI dan Manusia Jawa dan Gunung Merapi, kedua buku ini juga mewarnai perjalanan masa remaja saya. Disadari atau tidak ikut “meracuni” proses pembentukan karakter dan membangun mimpi, apalagi kalau bukan urusan jalan-jalan dan melihat dunia.
Serial Balada Si Roy – Gola Gong
Anak muda jaman sekarang mungkin tidak banyak yang mengenal serial Balada Si Roy yang ditulis oleh Gola Gong di masa mudanya.
Sesuai judul, cerita buku ini adalah tentang balada yang dialami Roy selama petualangannya mencari jati diri. Ditulis berdasarkan kisah perjalanan Gola Gong mengelilingi Indonesia (1987) dan Asia (1991-1992). Jaman dulu belum ada blog, tetapi beliau rajin menulis dalam buku catatan hariannya hingga lahirlah serial Balada si Roy.
Saya sangat menyukai buku ini dan demi membaca tamat 10 buku saya rela bolak – balik berjalan kaki dari sekolah di Gardujati ke Perpustakaan Daerah Jawa Barat di Cikapundung. Saat kelas 3 SMA, di pelajaran Bahasa Indonesia kami harus membuat ulasan buku favorit. Saya memilih buku Balada Si Roy ke 5, Ransel Biru, dan menuliskan review yang sangat panjang.
Penasaran ngga sih seperti apa isi bukunya, saya kutip dari pengantar di Good Reads untuk buku pertama – Joe :
Pernahkah kamu membayangkan seorang remaja tampan dengan jins lusuh menyandang ransel melompat ke bak truk, kucing-kucingan dengan kondektur kereta api, naik-turun gunung, menyeruak di keramaian kota, atau melintas di depan kamu?
Remaja tampan itu adalah Roy — si avonturir bandel. Setelah Joe, anjing herdernya mati tenggelam, Roy seperti kehilangan arah. Joe adalah pengganti papanya yang telah tiada. Ia jadi gelisah. Ia ingin pergi jauh. Meninggalkan Mama dan Venus, gadis yang berhasil mengusik mimpi-mimpinya. Dia lalu jadi akrab dengan jalanan. Dia merasa petualangan bisa menenteramkan dan meredam kegelisahan, kemarahan, keputusasaan, dan kesedihannya. Joe memang sudah mengubah segalanya.
Balada Si Roy 1 – Joe
Jadi, si Roy ini bad boy, sering bolos sekolah karena jalan-jalan, membuat keluarga was-was. Naik gunung, berpetualang karena gelisah dan karena Roy ingin melihat dunia. Tapi Roy punya karakter yang kuat, selalu berpikir kritis walaupun kadang juga nakal – namanya juga anak muda kan.
Salah satu scene yang saya ingat betul adalah ketika Roy mengunjungi Baduy dan bertemu dengan gadis-gadis muda yang bercerita soal fenomena bekerja di kota, kawin muda lalu menjadi janda dan kembali ke desa. Roy mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, humanis.
Gara-gara si Roy ini juga ketika kenaikan kelas 1 SMA saya mengunjungi Baduy bersama teman-teman pencinta alam SMA. Bahkan ransel pertama yang saya beli berwarna biru, karena si Roy ranselnya biru !
Petualangan Roy berlanjut ke arah timur, Yogya sampai Lombok. Tidak puas di Indonesia, Roy menjelajah negara tetangga, Malaysia, Thailand sampai ke Nepal, surganya para backpacker seperti Roy. Menurut Roy ia adalah seorang traveler, lelaki pengejar matahari dan bayangannya. Keliling dunia adalah obsesinya walaupun dia bukan orang kaya. Roy hanyalah oang kebanyakan yang memiliki keberanian.
Kisah Roy di Nepal dan Kathmandu juga merupakan salah satu bagian favorit saya. Membuat saya bermimpi untuk melihat dunia, berpetualang seperti Roy.
Ah saya jadi rindu ingin membaca kembali Balada Si Roy, iseng – iseng tadi saya google dan ternyata sebentar lagi akan ada filmnya. Penasaran, mudah-mudahan filmnya sebagus bukunya.
Tetralogi Winnetou
Buku kedua yang ingin saya ceritakan disini adalah tetralogi Winnetou. Saya membaca buku-buku Winnetou ketika saya SMP. Rasanya itu buku milik kakak saya, buku cetakan lama dengan huruf kecil-kecil yang saya baca setiap bulan puasa, iya hanya bulan puasa sambil menunggu waktu berbuka.
Kalau Balada si Roy “meracuni” pemikiran saya untuk melihat dunia maka kisah petualangan Old Shatterhand, Winnetou dan Suku Apache sukses “meracuni” saya untuk menyukai petualangan di alam bebas, naik gunung, berkemah, segala sesuatu yang berbau alam, Indian dan pastinya Amerika haha, wild west.
Entah bagaimana, dulu saya selalu membaca buku-buku yang ditulis Karl May ini dengan penuh penghayatan dan berimajinasi. Membayangkan kehidupan Suku Indian Apache, perjalanan naik kuda mencari mata air, berburu dan bertahan hidup di padang prairie, rasanya sangat seru dan menyenangkan.
Buku Winnetou juga merupakan salah satu buku yang ingin saya baca kembali (selain Balada Si Roy), mungkin sekarang saatnya.
Sekarang, puluhan tahun setelah Balada Si Roy dan Winnetou, saya menyadari bahwa buku yang baik akan meninggalkan kesan yang dalam. Bersyukur untuk Gola Gong dan Karl May yang menuliskan kisah Roy dan Old Shatterhand, terimakasih.
Tulisan ini tentunya dipersembahkan untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Februari 2023, Buku Bacaan yang Bepengaruh.
16 Comments