Bitung yang ini tidak ada kaitannya dengan Belitung alias Belitong, Bumi-nya Laskar Pelangi. Lain pulau lain juga ceritanya. Bitung yang ini adalah sebuah kota pelabuhan yang terletak di pantai timur Provinsi Sulawesi Utara. Jaraknya dari Menado – ibukota Provinsi Sulawesi Utara, tidak terlalu jauh. Satu jam saja berkendaraan dengan kondisi jalan yang cukup baik.
Salah satu hal menarik di Bitung adalah kebun binatang mini yang letaknya di tepi pantai. Kebun binatang ini dikelola oleh penduduk setempat yang bernama Bapak Toku Malohing. Sebutan penyayang binatang layak diberikan kepada beliau. Sejak beberapa tahun yang lalu Pak Toku telah menyediakan lahan miliknya untuk memelihara sekitar 40 jenis binatang langka dan unik, termasuk sepasang Tarsius dan sepasang Babi Rusa alias Anoa.
Tarsius adalah sebutan populer untuk monyet mini yang merupakan hewan endemik Sulawesi Utara. Ukurannya benar – benar mini, hingga pantaslah Tarsius ini dijuluki sebagai primata terkecil di dunia. Beratnya kuranglebih 120 gram, tinggi 15 cm dan hebatnya panjang ekornya bisa mencapai 20 cm, lebih panjang dari tubuhnya sendiri. Mini dan mungil seperti anak ayam. Wajahnya seperti burung hantu, tubuhnya seperti tikus dengan kepala yang bisa digerakkan memutar hampir 360 derajat. Dan yang lebih mengagumkan, ternyata Tarsius mini ini bisa melompat hingga 10 kali panjang badannya sendiri.
Aslinya habitat Tarsius adalah di hutan – hutan di Pulau Lembean dan Sangihe, Sulawesi Utara. Selain itu Tarsius juga bisa dijumpai di Taman Nasional Tangkoko – Batu Angas Dua Saudara, sebuah taman nasional yang terletak sekitar 30 km dari Bitung. Tapi menjumpai Tarsius di habitat aslinya tidaklah semudah menjumpai Tarsius di kebun binatang Pak Toku. Di Kebun Pak Toku mereka akan bertengger manis di dahan – dahan pohon yang sengaja diletakkan Pak Toku di kandang mereka. Dengan mudah kita bisa masuk ke dalam kandang dan bersua dengan si kecil imut ini.
Tarsius adalah binatang malam, mereka hanya akan memunculkan diri di malam hari, untuk mencari makan dan beraktifitas lainnya. Puas bersosialisasi dan bermain, sekitar pukul 5 pagi mereka akan berbondong – bondong kembali ke sarangnya masing – masing untuk tidur. Mereka baru akan bangun kembali di sore hari, menjelang matahari terbenam. Selain itu Tarsius memilih hidup menyendiri dalam kelompok kecil (max 8 ekor) jauh di pelosok hutan. Sehingga menjumpai Tarsius di habitat aslinya memerlukan perjuangan ekstra. Siap-siap untuk begadang semalaman dan berjalan kaki di tengah hutan.
Selain Tarsius, di kebun binatang Pak Toku ada juga sepasang Babi Rusa alias Anoa. Nah kalau hewan yang satu ini adalah hewan endemik Pulau Sulawesi. Habitat aslinya adalah hampir di seluruh hutan di pulau yang juga dikenal dengan sebutan Celebes ini. Anoa takut terhadap manusia. Sehingga tak heran sulit sekali menjumpainya di habitat aslinya sekalipun. Mereka dapat berlari kencang dan lebih menyukai daerah yang tinggi.
Sayangnya nasib Anoa tak jauh berbeda dengan nasib banyak hewan endemik lainnya di negara kita. Populasinya semakin menurun. Bukan saja karena diburu manusia tetapi karena maraknya penebangan dan pembukaan area hutan yang merusak habitat mereka. Sayang sekali ya.
Pak Toku sadar betul akan hal ini. Kebun binatang beliau saat ini juga berperan sebagai area penangkaran dan perkembangbiakan binatang. Secara legal tentunya, karena Pak Toku mencoba mengkembangbiakan binatang – binatang tersebut dengan dukungan penuh dari Departemen Kehutanan. Walau tidak mudah untuk dilakukan. Selain biaya bulanan yang cukup besar untuk memberi makan, juga tantangan untuk menciptakan tempat tinggal yang menyerupai habitat aslinya.