Pulau Sulawesi ibarat surga bagi para petualang dan penikmat alam. Di pulau ini ada hutan tropis yang indah dengan flora faunanya yang unik dan langka, pegunungan yang masih perawan, tebing-tebing gamping, jeram sungai yang mencekam, goa-goa yang menyimpan misteri ataupun taman lautnya yang indah selalumenarik untuk dijelajahi. Itulah salah satu alasan yang membawa rombongan kami tiba di Kolaka, kota kecil di tepi Teluk Bone, 300 km sebelah barat daya Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Untuk merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI tahun 2001 kami berenam mendaki Gunung Mekongga, yaitu puncak tertinggi dari Pegunungan Mekongga yang sekaligus merupakan puncak tertinggi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Tingginya yang cuma 2.620 m dpl membuat Mekongga tidak menjadi sasaran pendaki-pendaki yang hobi mengoleksi ketinggian. Tingginya kalah jauh dengan gunung-gunung di Jawa yang rata-rata di atas 3.000 m dpl. Mungkin inilah salah satu penyebab Mekongga tidak populer. Padahal, Mekongga unik dan menarik.
Dari peta topografi lembar Wawo skala 1 : 50.000 yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal terlihat bahwa Mekongga adalah suatu barisan pegunungan yang panjang dan rumit. Desa terakhir ada di ketinggian 10 m dpl, berarti untuk mencapai puncak para pendaki harus menempuh jarak vertikal setinggi 2.610 meter. Menapaki punggungan yang menjari ke mana-mana.
Kami sempat menginap satu hari di Kolaka, keesokan harinya tiba teman-teman pencinta alam dari Universitas Halu Uleo, Kendari. Kami bergabung dan berangkat bersama menuju Tinukari, desa terakhir pendakian yang secara administratif terletak di Kecamatan Rante Angin, Kabupaten Kolaka.
Perjalanan menuju Tinukari sangat menyenangkan. Selama tiga jam perjalanan kita akan menyusuri Teluk Mekongga. Di Pantai Tamburasi kita dapat berhenti sejenak untuk berenang di pantainya yang bersih. Dapat pula berkunjung ke Sungai Tamburasi yang konon adalah sungai terpendek di dunia. Pasalnya hulu sungainya cuma 10 meter dari muara hingga ke laut, airnya hangat dan pemandangannya indah.
Keesokan harinya, pukul 08.00 pagi kami sudah siap berangkat. Kami berdoa bersama di depan rumah Bu Tato, penduduk Tinukari yang rumahnya kami tumpangi untuk menjadi base camp pendakian. Kepergian kami dilepas oleh Pak Desa dan beberapa penduduk lainnya, “Hati-hatilah di jalan Nak, kalau ada apa-apa segera hubungi kami lewat radio,” pesan Pak Desa kepada kami.
Pendakian dimulai, selepas desa kami mulai memasuki jalan setapak di tengah kebun cokelat. Jalannya datar, menyusuri sungai yang airnya cukup deras dan lebarnya hampir mencapai 10 m.
Setengah jam kemudian kami harus menyeberangi Aala Ranteangin. Aala dalam bahasa Mekongga berarti sungai. Selanjutnya kami kembali berjalan menyusurinya, terkadang kami harus melakukan traversing sepanjang tebing di pinggir sungai. Lumayan buat latihan mental. Tebing gamping yang licin itu membuat kami harus ekstra hati-hati.
Hitung punya hitung penyusuran sungai memakai waktu hampir dua jam, empat kali menyeberang. Tengah hari kami tiba di percabangan Aala Tinukari dengan Aala Mosembo, hulu dari Aala Ranteangin. Tempat indah dan cocok buat mandi dan istirahat. Kami berhenti untuk makan siang dan mandi-mandi.
Selepas makan siang kami mulai memasuki hutan. Dari ketinggian 100 m dpl kami terus naik hingga 400 m dpl. Selama dua jam kami terus mendaki, jalurnya sangat terjal dan tidak ada bonus. Wajah-wajah yang tadinya ceria berubah kecut, khas tanjakan. Apalagi cuaca sangat panas, termometer menunjukkan angka 30 derajat Celcius. Padahal, di Bandung suhu rata-ratanya berkisar antara 20-22 derajat Celcius, sengatan Matahari memang menjadi kendala utama.
Di ketinggian 400 m dpl kami mulai menggunakan jalan setapak yang merupakan bekas jalur HBI, perusahaan logging kayu yang sempat beroperasi di tahun 1996-1999. Jalur ini relatif lebih singkat daripada jalur pendakian yang dulu sempat dirintis oleh teman-teman Mahacala Kendari. Perjalanan menjadi lebih mudah. Di tengah jalan kami sempat bertemu dengan sekelompok perotan yang tinggal di pondok-pondok sederhana. Merotan memang merupakan mata pencaharian sampingan bagi sebagian orang Mekongga. Mereka masuk ke hutan terkadang bisa sampai 1-2 bulan, setelah rotan yang dikumpulkan cukup banyak mereka kembali ke desa dan menekuni kebun cokelatnya. Sungguh kehidupan yang sederhana bagi kami yang tinggal di kota.
Hari ini kami mencapai target, yaitu camp 1 di ketinggian 480 m dpl. Walaupun disebut camp, tapi tidak ada shelter seperti gunung di Jawa. Semuanya masih serba alami. Sebutan camp 1 kami buat untuk mempermudah saja. Malam itu cuaca cerah dan cukup hangat.
Keesokan harinya kami masih menempuh jalur HBI, hari ini target pergerakan adalah camp 2 di ketinggian 1.380 m dpl. Jalur mulai menanjak dan banyak sekali bekas longsoran. Di kejauhan tampak jajaran pegunungan yang di ujungnya terletak puncak Mekongga yang berbentuk kubah. Sangat jauh.
Sepanjang jalan banyak ditemukan air terjun kecil. Vegetasi yang dominan adalah tumbuhan berkayu bekas yang ditumbuhi lumut. Hal ini terjadi karena daerah ini sangat lembab. Kantong Semar dan aneka jenis anggrek bisa ditemukan dengan mudah.
Cuaca yang bersahabat membuat perjalanan panjang tidak terasa berat. Di tengah jalan sempat terlihat Elang Sulawesi yang termasuk golongan hewan yang dilindungi. Warna hitamnya yang pekat dan kepakan sayap lebarnya mampu membuat seluruh tim terpesona. Apalagi di pepohonan tampak sekelompok monyet berwarna abu-abu bertengger.
Malam ini kembali kami mendirikan dome dan fly sheet, angin cukup kencang dan cuaca pun berubah menjadi dingin. Teh hangat dan bubur havermout menemani briefing malam itu. Menurut plot di peta, jalur besok akan bertambah berat, kami mulai meninggalkan jalur HBI dan masuk ke hutan. Otomatis pergerakan harus berpedoman pada peta dan kompas. Selain itu tidak seperti hari-hari sebelumnya, pada jalur esok tidak ada sumber air. Kami harus mengisi penuh semua tempat air dari camp ini.
Pagi di hari ketiga pendakian, kami bergegas packing dan berjalan kembali. Di sini tampak jelas hutan Mekongga. Pohon-pohon ditutupi lumut yang sangat tebal. Di sebelah utara tampak Osu Mosembo alias Gunung Mosembo yang belum pernah terjamah manusia. Ada yang tertantang?
Perjalanan hari ini melelahkan, apalagi beban di punggung bertambah berat, yaitu persediaan air yang harus kami bawa. Tim pembuka jalur mulai memasang string line. Vegetasi mulai berubah, dari vegetasi tropis menjadi sub alpine seperti cantigi dan berbagai jenis perdu. Hutan yang kami masuki sangat rapat, tak heran lumut tebal terlihat dimana-mana. Kami terus berjalan mendaki, kotoran anoa mulai terlihat. Dalam hati saya sangat berharap bisa melihat anoa. Hewan langka khas Sulawesi yang hampir punah itu.
Pukul 02.00 siang kami tiba di suatu kompleks tebing gamping berwarna putih bersih. Ternyata inilah yang disebut orang desa sebagai Musero-sero. Dalam keyakinan orang Mekongga, tempat ini diyakini sebagai pusat kerajaan jin untuk daerah Kolaka Utara. Banyak kisah misteri mengenai tempat ini. Konon setiap menjelang senja selalu terdengar adzan dari bukit batu gamping yang disebut Kabah. Yang pasti di Musero-sero yang indah ini kami semua terdiam dan mengagumi keelokannya.
Jalur selepas Musero-sero bertambah berat, kami harus memanjat tebing, dan sesudahnya kami segera disambut oleh tanjakan-tanjakan yang tanpa henti. Punggungan yang menjari ke mana-mana dapat menyesatkan bila kami salah memilihnya.
Menjelang senja kami tiba di puncak punggungan sempit di ketinggian 2.520 m dpl – camp 3. Akhirnya tinggal 100 meter lagi menuju puncak. Tapi, puncak Mekongga terlihat masih sangat jauh. Kami harus melewati beberapa punggungan lagi untuk menuju ke sana.
Malam itu kami beristirahat total. Istirahat panjang kami lakukan keesokan harinya, baru pada tanggal 17 Agustus 2001 kami berencana melakukan summit attack.
Akhirnya, tibalah saat yang dinanti itu, hari ini kami akan menyelesaikan pendakian menuju puncak Mekongga. Jalurnya yang selalu berpindah-pindah punggungan sangat melelahkan. Untung semua itu terobati oleh panorama yang elok. Sejauh mata memandang terlihat jajaran bukit gamping yang membentang sepanjang arah barat-timur. Puncak Mekongga sendiri berbentuk kubah yang luas.
Mendekati puncak kami harus kembali memanjat. Tak seberapa tinggi tapi tebing dengan bebatuan yang lepas itu tak urung membuat nyali teruji. Di sini terdapat goa-goa dengan stalagmit dan stalagtit yang indah. Satu lagi tantangan bagi para pencinta goa.
Tiba di puncak kami semua takjub melihat hamparan bebatuan yang luas. Batuan metamorf abu-abu yang runcing dan tajam menjadi tempat kami berpijak. Sesaat kami semua hening dan terbawa emosi masing-masing. Ternyata inilah puncak tertinggi di Sulawesi Tenggara, yang konon merupakan puncak kerajaan jin itu. Cuaca bersahabat dan angin bertiup menyejukkan, menemani kami melakukan upacara bendera dan berdoa bersama, doa penuh harapan untuk bangsa ini.
Tuntas sudah perjalanan kami kali ini, perjalanan yang indah bersama teman-teman terbaik. Dirgahayu Indonesia!
# Perjalanan bersama teman – teman KMPA Ganesha ITB : Billy, Diky, Erdhany, Bambang dan Puput, teman – teman G-SUA Kolaka dan teman – teman pencinta alam Kendari. Cerita ini dimuat di harian Kompas 16 Agustus 2002. Saya sedang melakukan tugas akhir Geologi saya di Total Indonesie – Balikpapan. Sangat bangga ketika Pak Aussie datang ke ruangan saya sambil membawa koran Kompas yang memuat tulisan saya tersebut, dan dengan bangga beliau bilang : ini tulisan anak gw – MAY SARI HENDRAWATI, Mahasiswi Jurusan Teknik Geologi ITB, dan anggota Keluarga Mahasiswa Pencinta Alam (KMPA) “Ganesha” ITB
Pingback: For the Next Trip, Celebes Anyone ? - sereleaungu
Pingback: Belajar Memasak Makanan Thailand di Bangkok - sereleaungu