Avoid the Regret of Not Doing

Pertama kalinya saya memberanikan diri untuk menulis tentang hal ini, belakangan bolak-balik hal ini selalu menghantui, daripada menyesal lagi lebih baik kita tuliskan saja :).

Sejak harus banyak mengambil keputusan-keputusan dalam hidup, ada banyak hal yang sebetulnya saya sesali. Contohnya, kalau kerjaan kantor sekarang lagi ribet-ribetnya pasti kepikiran kenapa sih dulu pindah kerja. Atau waktu lihat teman-teman di kumpeni lama sudah sukses, jadi boss, pergi overseas assignment, pasti kepikiran juga, kenapa sih dulu pindah dari sana, pindah kantor malah turun gaji banyak dst dst. Ngga bagus banget kan ya, tapi biasanya perasaan menyesal itu hanya sebentar saja, alhamdulillah bisa cepat sadar dan banyak-banyak bersyukur.

Tapi ternyata masih ada satu hal mengganjal yang saya sesali. Saya pun baru menyadarinya tahun kemarin, saya sempat mengikuti sebuah workshop, title-nya Empower Your Inner Self. Pertama kalinya saya mengikuti workshop seperti ini dan ternyata menarik juga dan saya menyukainya.

Dalam salah satu diskusi, our mentor-Andleen bertanya : Do you have regret in your life ? Jawaban dari group kecil kami bervariasi, semua menjawab ada dan berbagi cerita kecilnya. Yang mengejutkan, ternyata saya langsung mengingat satu hal yang sebetulnya sudah saya lupakan lama, sejak 14 tahun yang lalu, saya masih menyesal tidak pergi ke Belanda dan sekolah S2, yup ternyata saya masih sangat menyesal.

Tahun 2006, saat itu saya bekerja di Balikpapan. Lingkungan kerja yang sangat menyenangkan, teman – teman yang baik dan seru, best years in my life. Tapi May muda punya ambisi dan cita-cita, ingin sekolah S2 ke luar negri dan satu-satunya cara untuk melanjutkan sekolah tentunya dengan mencari beasiswa. Saya sempat apply untuk beasiswa Chevening, lolos tes bahasa Inggris tapi saya tidak lolos interview. Sedih juga mengingat perjuangan harus ke Jakarta, naik ojeg biar ga telat interview dan setelah itu buru-buru lagi ngejar travel untuk ke bandara biar ga ketinggalan pesawat pulang ke Balikpapan.

Selepas gagal Chevening, Ilan teman saya waktu di Balikpapan menyarankan saya apply langsung ke universitas sekaligus apply beasiswa. Ilan kebetulan dulu S2 di Belanda, dan saya tahu juga ada beberapa senior saya yang melanjutkan S2 di Belanda dengan beasiswa dari universitas. Ilan kemudian membantu saya menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan, saya mendapatkan reference letter yang bagus sekali dari pembimbing TA saya dulu, all set, sampai Ilan juga yang mengantar saya mengirim dokumen via DHL.

Long story short saya diterima di salah satu universitas, dengan half scholarship, senangnya luar biasa. Saya sempat berkomunikasi via email dengan pihak universitas, karena ada satu hal yang mengganjal, beasiswa yang hanya 50 % itu. Saat itu kondisi keuangan saya tidak memungkinkan, ada tabungan tapi tidak banyak, dan ada beberapa komitmen yang tetap harus berjalan selama saya kuliah, 2 tahun tanpa penghasilan.

Beberapa kali pihak universitas meyakinkan saya agar datang dulu, meyakinkan saya akan ada banyak peluang untuk mendapat penghasilan, seperti bekerja di lab atau menjadi asisten dosen. 75 % saya sudah yakin akan berangkat.

Tapi ada satu hal yang menjadikan saya tidak jadi pergi, saat itu saya merasa biasa – biasa saja. Walaupun saya masih menyimpan rapi acceptance letter dari universitas tersebut, hingga saat ini. Banyak peristiwa – peristiwa sesudahnya yang membuat saya sejenak melupakan cita-cita kuliah S2 di luar negri.

14 tahun berjalan ternyata saya tidak lupa, sadar ngga sadar, terutama setelah saya bekerja di luar negri. Peristiwa saya gagal S2 di luar negri dan hanya S1 saja sampai sekarang ternyata telah menjadi “my limiting beliefs ” . Banyak moment ketika saya merasa rendah diri, bisa dibilang awal-awal saya bekerja di Malaysia betul-betul modal nekat. Teman-teman satu team saya kebanyakan lulusan US atau UK, banyak juga junior saya yang punya gelar master, sedangkan saya hanya lulusan S1 cap gajah haha. Walaupun kadang – kadang saya menyadari juga kalau saya ga bodo-bodo amat kok. Tapi entah lah kenapa ternyata saya masih menyesal lho, at my lowest point saya pernah berfikir : kalau sekolah ke Belanda mungkin bisa kerja disana, etc etc.

Andleen, kemudian memutar sebuah video singkat yang intinya bercerita bahwa ternyata sebagian besar orang akan menyesal tidak pernah melakukan sesuatu daripada menyesal pernah melakukan sesuatu. Nah lho, aneh kan, terus terang ini bertolak belakang dengan keyakinan saya selama ini, mungkin itulah sebabnya saya ga jadi pergi ke Belanda kan.

Tadi pagi saya menemukan tulisan ini yang isinya kurang lebih sama dengan video yang saya tonton sewaktu workshop :

Most people have regrets over what they didn’t do, rather than what they did do. It seems so common to have regrets, or to wish you had done something differently, but we were thinking from a different angle. When you take action on something, you have an outcome to reflect on, and make future decisions based on those results. But the regrets about what you didn’t do at all, lack the outcome for reflection. Whether this is in life, business, relationships, or finances, the lack of taking action just remains the regret of not doing something we should have.

Mungkin saya menyesal ga pergi ke Belanda karena saya tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kalau saya pergi kesana, lack the outcome for reflection.

Selepas workshop saya memutuskan untuk melakukan sesuatu, saya tidak bisa memutarbalikkan waktu, tapi ada satu hal yang saya bisa lakukan saat ini. Ga jauh-jauh, kuliah S2. InshaAllah saya sedang proses menuju kesana, hadiah ulang tahun untuk diri saya sendiri, self love.

Sekarang perasaan menyesal itu sudah jauh berkurang, saya percaya Allah punya rencana lebih baik, tapi pelajarannya, jangan pernah takut melakukan sesuatu (asalkan baik ya), jangan pernah takut pindah kerja, jangan pernah takut mencoba hal baru, jangan pernah takut.

Message for Azkia : in the end we only regret the chances we didn’t take, just follow your heart. Stay in the present and keep moving forward.

20 Comments on “Avoid the Regret of Not Doing”

  1. aku inget pas masa kuliah pernah ragu2 melakukan sesuatu dan temenku ngasih tau tentang lebih menyesal dengan hal yang tidak dilakukan daripada yang dilakukan. sejak itu kalau ragu aku lebih sering memilih melakukan daripada menyesal.

    1. Yup, ngga enak banget menyesal kemudian itu. Untuk hal-hal lain sebetulnya saya cenderung nekat, tapi entah kenapa tahun 2006 itu ga berani nekat. Makanya sekarang terus-terusan berusaha doktrin anak sambil mengingatkan untuk diri sendiri :).

  2. Setuju banget ini walau dulu zaman piyik (S1 dianggap masih piyik lah yaa) masih kurang percaya, lebih condong takut nyoba dan gagal. Ternyata pengalaman hidup seterusnya mengajarkan bahwa penyesalan seumur hidup karena nggak nyoba itu lebih pahit, jendral … hahahaa.

    1. Iya betul banget, sampai – sampai ada istilah lebih baik menyesal beli daripada kepikiran terus kan :). Jangan takut mencoba

  3. Makasih teh sudah nenuliskan ini. Aku bisa relate banget karena punya beberapabhal yang aku sesalkan karena tidak kulakukan. Salah satunya setelah lulus kuliah nggak berani apply kerjaan di perusahaan besar karena merasa IPK aku butut (padahal nggak juga 😅) pun dengan S2 yang cuma berani balik deui ka Cap Gajah. Nggak berani nekad apply ke yang aneh aneh dengan alasan yang sama dengan cari kerja. Tapi habis nikah ternyata suami prinsipnya coba dulu daripada nyesal. Kalau nggak mau nyoba nggak usah ribut menyesal. Jadi aku keikutan deh lebih berani ambil risiko sekarang 😆

    1. Rata-rata kan anak cap gajah sebetulnya pada bonek, misalkan dikasi project A, walaupun belum pernah juga diterima, dipikiran ntar ngerjainnya mah haha. Berani ambil resiko sebetulnya sangat bagus kan, asal kita bisa tahu cara memanage resiko itu. Soal saya minder karena ga pernah S2, atau Restu ngga berani apply kerjaan di perusahaan besar itu yang disebut sebagai limiting beliefs, dulu waktu saya ikut workshop dibahas juga, menarik karena di bawah sadar kita dah membatasi diri kita karena hal – hal yang kita yakinin. Nanti pengen juga nulis tentang ini, buka contekan dulu hehe.

  4. Semangat ya teh sekolah lagi.. apa yang sudah terjadi diketahui semua oleh Tuhan dan diijinkan olehNya. Yang penting terus berusaha yang terbaik sekarang 💪

    1. Makasih ya, masih deg-degan nunggu acceptance letter sekarang :). Betul, semua pastinya sudah ada jalannya.

  5. I know how it feels, Teh.
    Saya keterima di program magister kampus gajah duduk trus batal daftar ulang karena info beasiswa yang tidak akurat. Yang dapat beasiswa ternyata yang tesnya ranking 1 saja. Trus bukannya nyari alternatif, saya merasa saat itu semua pintu tertutup. Jadi menyerah aja. Dua tahun lalu saya menemukan surat pemberitahuannya dan ternyata masih ada rasa sesal ^_^
    Tapi rasa sesal dan pengandaian itu bisa jadi penyakit sih Teh. Jadi mending kita lepaskan ya. Let It Go, kata Elsa juga ahahaha
    sukses untuk rencana ke depannya ya Teh. Semoga dimudahkan semuanya.

    1. Betul banget Teh, let it go, dan ga usah diingat-ingat kan. Sebenernya saya juga udah agak lupa, cuman kadang keinget aja, tapi pelajaran berharga banget memang. Ke depannya untuk urusan apa pun jangan menyerah, dan betul kita harus usaha cari alternatif juga kan. InshaAllah semua ada jalan keluarnya. Amin, terimakasih doanya ya 🙂

  6. Wah teh aku jadi ingat dulu pernah putuskan untuk tidak travel ke LN karena teman seperjalanan berhalangan. Ketika teman bilang, solo travel aja, aku gak berani. Entah kenapa sampai sekarang menyesal ngga coba. Ngeri jg btw haha (masih labil).
    Kalau teteh masih menyesal, mungkin bisa dialihkan ke hal lain? Mungkin ambil online degree? Usul aja sih, biar out from the system regret nya.

    1. Wah solo travel asik lho sebetulnya. Iya, InshaAllah tahun ini akan sekolah lagi Teh..uni di Malaysia, beneran jadi luar negri juga kan haha. Karena corona yang weekend class juga jadi online, lumayan bisa di rumah aja.

  7. Terimakasih teteh sudah menuliskan artikel ini. Semangat ya teh.. (sambil nyemanagatin diri sendiri)

    Insyallah Allah kasih kesempatan sekolah lagi di waktu yang tepat 🙂

  8. Aku juga ada sesal dikit sih. Aku engga S3, padahal dosen. Dulu yaa waktu S2 mungkin pakepuk, anak balita, repot ya…Trus suami veto, udah S2 aja ya, kan syarat minimal udah dipenuhi.
    Yawda kupendem deh S3, dan kebetulan engga pengen-pengen amat…haha…
    Ngeliat temen-temen udh pd doktor dan profesor itu asa gimanaaa gitu…
    Yawda nulis aja deh, nulis buku, ngeblog. Hehe…Jadi tsurhat…

    1. InshaAllah ada waktu dan kesempatan nanti bisa S3 ya Teh, siapa tahu nanti pengen haha. Dulu saya sempat lupa pengen kuliah karena nikah, punya anak, emang repot pisan ampe lupa. Sekarang karena anak dah gede kayanya, keingat lagi. Ada temen deket di sini orang Indonesia tapi nikah dengan orang Malaysia, ITB angkatan 70 an, sekarang profesor, kalau ngobrol sama beliau memang kagum banget, perjuangan beliau bisa sampai Prof di negri orang, sesuatu pisan, ngga mudah tapi buktinya bisa.

  9. Ya ampun teh… aku relate banget sama insight ini…
    Aku punya limiting belief yang bikin waktu itu ga berani ambil beasiswa LPDP, terus segan apply untuk ke US. In the end aku menyesali itu. Tapi ya akhirnya aku ambil pelajaran sih dan memang, lebih baik mencoba daripada menyesal.
    Terima kasih banget atas postinga pengingat ini teh. Kebetulan aku lagi kena limiting belief tentang sesuatu. Sekarang jadi berpikir ulang untuk just do it. Nuhun ya tehh…

    1. Sami-sami :). Just do it selama itu baik, jangan lupa di list pro and cons nya juga. LPDP asik banget ya, jaman dulu belum ada LPDP hehe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *