[Cerita dari Negri Jiran] Suka Duka Pekerja Migran

Akhir tahun ini tepat 8 tahun kami tinggal di negeri jiran Malaysia, cukup banyak cerita suka dan duka yang saya dan keluarga alami. Pastinya ada banyak hal menarik, walaupun mungkin ga keren-keren amat, seringnya kami bercanda bahwa sebetulnya kami bukan tinggal di luar negri tapi di provinsi ke 37.

Sebagai pengingat, dan cerita untuk Cici nanti, saya akan mencoba menuliskannya dalam #ceritadarinegrijiran. Mungkin catatan ini juga bermanfaat untuk teman-teman yang akan pindah ke Malaysia atau ingin tahu lebih banyak tentang Malaysia.

Di cerita #1 ini saya ingin bercerita mengenai saudari kita para pekerja migran dan pejuang devisa yang jumlahnya sangat banyak di Malaysia. Trigger-nya adalah perkenalan saya dengan seorang Mba-sebut saja Mawar minggu lalu.

Sejak pindah ke rumah baru awal tahun ini saya belum pernah lagi memanggil part time cleaner ke rumah, selain karena lockdown yang berkepanjangan, Mba-mba “langganan” saya semua tinggal di sekitar KL, tentunya akan ada tambahan biaya transportasi yang cukup mahal untuk mengunjungi rumah kami yang sekarang terletak di kampung. Hikmah silaturahmi, saya berkenalan dengan tetangga yang kemudian memberi saya no kontak Mawar, cleaner orang Indonesia yang tinggal dekat saja, alhamdulillah, tidak perlu jauh-jauh import dari KL.

Pada waktu yang dijanjikan Mawar datang ke rumah, dalam beberapa jam saja rumah saya kembali bersih, mungkin paling bersih selama tahun 2021 haha. Teringat saran seorang senior saya di kantor yang juga seorang Ibu Big Boss, beliau menyarankan untuk tidak usah malu meminta bantuan orang lain, istilah kerennya support system. Betul juga kan, tahun ini rasa-rasanya saya sering sekali stress bukan saja karena urusan pekerjaan tapi juga karena urusan rumah yang tidak sempat dikerjakan. Saatnya untuk meminta bantuan.

Di Malaysia banyak sekali wanita Indonesia yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART). Ada yang live in-tinggal di rumah ada juga yang bekerja sebagai part time cleaner ke rumah-rumah atau di kantor. Ada yang legal dan lebih banyak lagi yang ilegal. Sudah menjadi rahasia umum jarang sekali ART Indonesia memiliki paspor dan work permit. Kenapa itu bisa terjadi, yuk simak cerita saya di bawah ini.

Disclaimer : semua cerita dihimpun dari obrolan sehari-hari, mohon maaf untuk salah dan khilaf. Issue ini adalah issue yang sensitif, tujuan menulis ini untuk berbagi cerita, dan semoga ke depannya pemerintah Indonesia bisa memperbaiki sistem pengiriman TKW khususnya ke Malaysia dan juga lebih melindungi mereka

Serba-serbi Pekerja Migran

Para calon pekerja biasanya datang ke Malaysia melalui jasa agen penyalur ART. Calon pengguna jasa (disini disebut majikan) akan menghubungi agen tersebut dan membayar sejumlah uang sebelum membawa ART ke rumah. Harganya bervariasi, tapi yang jelas sangat mahal. Awal tahun lalu teman saya baru meminang seorang ART dari Bandung, uang jasanya RM 17,000 atau sekitar IDR 58 juta rupiah !. Ini baru uang jasa, selanjutnya majikan harus mengurus sendiri work permit ART, permit tahunan yang biayanya sekitar RM 1000 termasuk medical check up yang wajib dilakukan sebelum memperpanjang permit. Mahal luar biasa memang.

Kantor agen penyalur PRT, terlihat di advertisement mereka, menyalurkan PRT dari Indonesia, Cambodia, Vietnam, Phillipines, Laos dan Srilanka. Sumber : Google

Gaji bulanan mereka tergantung majikan, walaupun kalau tidak salah ada minimum gaji yang ditentukan penyalur, teman saya bilang sekitar RM 1000 per bulan. Di tahun 2015, pemerintah Indonesia menetapkan gaji minimal adalah RM 900 per bulan, tapi saya tidak menemukan lagi link terbaru untuk gaji minimal di tahun 2020-2021. Gaji yang sangat kecil kalau dibandingkan dengan gaji minimal ART Phillipina yang RM 2000 per bulan.

Selama 3 bulan pertama ART biasanya tidak akan mendapatkan gaji, karena ini menjadi hak agen penyalur. Mereka baru bisa mendapat gaji di bulan ke empat dan seterusnya. Ada majikan yang baik, membayarkan gaji setiap bulan, tapi ada saja cerita majikan menahan gaji ART untuk kemudian tidak dibayar sama sekali. Atau majikan nakal yang malas mengurus work permit, akhirnya para ART menjadi pekerja ilegal, passpor ditahan agen/majikan, ketika terjadi masalah mereka lari dari rumah dan akhirnya tidak mempunyai identitas yang sah.

Seperti cerita Mawar yang datang ke Malaysia 5 tahun yang lalu, ia bergabung karena tertarik dengan bujuk rayu agen penyalur yang datang ke desanya. Dengan janji gaji RM 1000 perbulan Mawar sangat senang, meninggalkan pekerjaan sebagai guru mengaji, anak-anak dan suami. Sayangnya nasib Mawar kurang baik, ia mendapat majikan Chinese, awalnya mereka sepakat Mawar tidak akan memasak makanan tidak halal atau mengurus anjing, tapi lama-kelamaan majikan ingkar janji. Beberapa bulan bekerja, tidak tahan, Mawar lari dari rumah, tanpa uang sepeserpun dan sayangnya juga tanpa paspor.

Sekarang Mawar menyewa kamar di rumah susun, RM 200 sebulan, dan bekerja sebagai part time cleaner dari rumah ke rumah, setiap hari pukul 8 pagi sampai pukul 6 sore, tanpa hari istirahat. Untuk satu jam bekerja, gajinya RM 15. Tekadnya hanya satu, mengumpulkan uang untuk bisa kembali ke kampung halaman. Walaupun situasi di kampung juga kurang baik, suaminya menceraikan Mawar, dan kini masuk penjara. Anak-anak yang sudah besar mengikuti jejak suami, menggunakan dadah. Mendengar cerita Mawar saya sangat sedih, seharusnya hal seperti ini tidak perlu terjadi kalau ada sistem perlindungan tenaga kerja yang baik.

Tapi, ada juga kisah sukses ART di sini. Sebut saja Anggrek, saya berkenalan dengan Anggrek 7 tahun yang lalu. Saat itu Anggrek sudah tinggal 10 tahun di Malaysia, bekerja sebagai part time cleaner dari rumah ke rumah. Sebelum bekerja di Malaysia, Anggrek pernah beberapa tahun bekerja di Singapore, saat itu sama seperti Mawar, ia pun diceraikan suaminya. Nasib baik membawa Anggrek ke Malaysia, ia bertemu dengan sesama pekerja migran dan kemudian menikah kembali. Awalnya Anggrek bekerja di sebuah toko, tapi kemudian ia berhenti dan memutuskan untuk mandiri.

Kini setiap tahun Anggrek memperpanjang work permit-nya sendiri, RM 3200 sudah termasuk jasa agen. Jumlah yang sangat besar, tapi Anggrek memilih untuk tinggal di Malaysia secara legal, setiap tahun Anggrek akan cuti sebulan dan pulang ke kampung. Ketiga anaknya yang dititipkan dengan orang tua di kampung sekarang sudah besar, 2 orang sudah menjadi sarjana. Beberapa bidang tanah di kampung dibeli Anggrek dari hasil jerih payah membersihkan rumah. “Nanti saya mau pulang kampung Bu, kalau anak semua sudah sarjana dan bekerja”, cerita Anggrek kepada saya.

Jalur Ilegal dan Pengalaman menjadi “Agen ART”

Selain jalur resmi yang harganya luar biasa mahal ada juga banyak jalur tidak resmi untuk datang ke Malaysia. Ada yang datang ke Malaysia sebagai turis, disini baru mencari kerja, kebanyakan akan jadi ilegal seperti Mawar. Kalau beruntung berjumpa majikan yang bersedia mengurus work permit yang biayanya RM 1000 tadi, jauh lebih murah memang. Atau ilegal karena masuk Malaysia melalui jalur tikus atau melalui jasa agen tidak resmi. Ini jumlahnya luar biasa banyak.

Walaupun sangat beresiko tapi banyak terjadi, seperti cerita TKI ilegal asal NTT yang sempat viral di tahun 2018. Dengan uang terbatas dan tanpa rencana apa-apa, mereka nekat mencoba peruntungan. Ada yang berhasil karena mendapatkan pekerjaan, majikan yang baik (ini penting) dan sukses. Tapi lebih banyak lagi yang mendapat masalah, menjadi pendatang ilegal, terlibat kriminalitas atau sampai di deportasi.

Sejumlah wanita pekerja migran ilegal yang dideportasi Pemerintah Kerajaan Malaysia memperlihatkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) setibanya di pelabuhan Pelindo I Dumai di Dumai, Riau, Kamis (30/5/2019). Sumber : DPRD Sesalkan TKI Ilegal Asal NTT Masih Ada (gesuri.id)

Mirisnya banyak para calon TKI yang berusia muda ternyata lari dari rumah, orang tua tidak mengetahui kemana anaknya pergi. Kasus TKI NTT ini sayangnya tidak berakhir baik, sebagian besar tertangkap dan akhirnya di deportasi.

On the side note, saya sempat menjadi “agen” yang membawa calon ART dari Bandung karena permintaan seorang teman. Kebetulan teman saya ini mempunyai kenalan yang membantu mencarikan ART, sebut saja Melati. Karena kebetulan saya sedang ada di Bandung, Melati rencananya akan berangkat ke Malaysia bersama saya, maksudnya biar ada yang menjaga.

Kami berangkat dengan pesawat yang sama, skenario disusun, ceritanya Melati akan berlibur ke Malaysia dan tinggal di rumah saya selama sebulan. Sebelum masuk antrian imigrasi beberapa kali saya mengingatkan Melati untuk PD aja, jangan kelihatan takut. Tapi paspor Melati yang baru dan gesture ketakutan yang jelas terlihat membuat Melati dicurigai. Hampir 1/2 jam Melati di interogasi (dengan kurang sopan dan suara keras) sebelum saya memberanikan diri untuk menjemput Melati dan mengaku sebagai sepupu yang mengundang Melati liburan ke Malaysia. Konyolnya setelah saya datang mendadak mereka-para oknum menjadi baik, salah seorang bahkan meminta maaf. Ironi bangsa kita kan, sad but true.

Tapi sebetulnya wajar mereka bersikap seperti itu, banyak sekali orang Indonesia datang ke Malaysia dengan cara ini. Melati termasuk beruntung, saat ini Melati sudah bekerja 3 tahun di rumah teman saya, work permit-nya selalu diperpanjang, tidak ada masalah sama sekali. Beberapa kali saya bertemu Melati, dia nampak baik-baik saja, sepertinya teman saya majikan yang baik.

Sayangnya tidak semua seberuntung Melati kan.

Pekerja Migran Indonesia sangat disukai tapi banyak yang kurang terampil

Saya sendiri belum mempunyai pengalaman dengan ART selain orang Indonesia. Tapi dari pengamatan saya, orang Melayu lebih menyukai orang Indonesia. Dari cerita teman-teman saya nampaknya mereka semua happy, karena biasanya mereka semua rajin dan serba bisa. Bisa dibilang semua urusan rumah mereka yang atur, bukan saja masalah memasak dan membersihkan rumah tapi mengurus anak mulai dari memandikan, memberi makan sampai mengantar ke sekolah, ART Indonesia bisa melakukannya.

Seorang teman pernah bercerita bahwa ART-nya pandai memasak, setelah ditanya-tanya ternyata beliau ex koki RM Cibiuk, luar biasa. Ngga heran kalau pandai memasak kan, akhirnya saya juga sering kecipratan makanan enak-enak, alhamdulillah.

Tapi ada juga kisah kurang menyenangkan dari pekerja Indonesia yang saya dengar. Kebanyakan dari mereka datang ke Malaysia tanpa keterampilan, tidak bisa/sedikit saja bisa berbahasa Inggris sehingga mereka sering kena tipu. Lagi-lagi majikan yang baik adalah segalanya, biasanya mereka bersedia mengajarkan keterampilan kepada ART, atau ART nya sendiri yang mau belajar.

Dulu saya sempat mengajar di kelas para pekerja migran yang di inisiasi oleh KBRI, kelas-nya setiap hari Minggu. Kami mengajar Bahasa Inggris dan beberapa keterampilan dasar seperti memasak dan lainnya. Harapannya agar para ART bisa maju, suatu saat mereka bisa upgrade pekerjaan yang lebih baik, jangan selamanya menjadi ART.

Saya boleh bilang antusiasme mereka luar biasa. Walaupun saya sekarang sudah tidak mengajar lagi tapi saya dengar kelas yang sama masih berlanjut. PR besar untuk kita semua, membantu saudara/i kita untuk memiliki kehidupan yang lebih baik.

Penutup

Sebetulnya masih banyak yang ingin saya ceritakan. Tapi saya cukupkan dulu disini. Sampai jumpa di cerita # 2.

15 Comments on “[Cerita dari Negri Jiran] Suka Duka Pekerja Migran”

  1. Begitu saya melihat foto saudari-saudari kita yang TKW dengan membawa paspornya, saya sudah deg-deg an. Karena kisah TKW yang pernah saya dengar banyak yang memilukan.

    Seperti kisah Mawar di atas, duhh kasihan sekali beliau. Insha Allah ada kebahagiaan dan keberuntungan di balik kesulitan yang dialami.

    Dan, alhamdulillah, ikut senang dengan kisah Anggrek, yang terbilang sukses dalam merantau di Malaysia. Ketemu jodoh pula, ehehe.

    Kasihan para remaja putri jalur ilegal yang ternyata hasil ngabur atau minggat ya. Aduh para remaja tersebut tidak aware bahwa di luar sana, banyak ‘wong gendheng’ yang mudah me-lure anak-anak ABG bermasalah. Kalau dari film-film, ended up menyedihkan.

    Pingin banget bilang ke para ABG, kalau ada masalah di rumah, please jangan ngabur jauh, lebih baik ke kerabat dekat.

    1. kisah di Malaysia, yang di expose keluar sepertinya banyak yang memilukan daripada yang menyenangkan. Tapi ada juga kok cerita-cerita sukses seperti Anggrek itu Uril, tapi ya sedikit memang.
      Tentang para ABG, reminder untuk kita sebagai orang tua, selalu harus berusaha jadi sahabat untuk anak, biar anak ga lari keluar kalau ada masalah.

  2. Wah, ceritanya beragam ya Teh May… macam-macam suka dukanya. Teh May sudah berapa tahun tinggal di Malaysia, sudah banyak pengalaman yang Teteh dengar di sana… cerita-cerita kaya gini memang bikin merasa miris y Teh di satu sisi

    1. saya hampir 8 tahun di Malaysia Meta, lumayan ada lah pengalaman, walaupun seperti yang saya bilang, ga keren-keren amat haha, berasa pindah provinsi aja.
      Yup, aku lumayan banyak juga kenal dengan mereka, banyak cerita sedih.

  3. para pekerja migran dan pejuang devisa … tema yang sangat menarik teh may …
    aku baca pelan-pelan sambil merenung, kalau pekerja dengan high qualification itu fine aja ya di LN, tapi yang gak punya keterampilan itu riskan sekali …

    oya … apakah di malaysia ada semacam komnas perempuan? aku dapat tugas nulis tema hari anti kekerasan terhadap perempuan, tapi rasanya masih ada kurang contoh konkrit masih teoritis he3 …

    1. makasih Teh Dewi kunjungannya. Betul Teh, pekerja yang ada skill relatif baik-baik aja, pasti ada tantangan dan masalah juga tapi ga seperti mereka yang bisa dibilang tidak ada keterampilan. Minimal skillful worker ada work permit, legal tinggal disini. Yang saya ga habis pikir soal pekerja ilegal ini, jumlahnya banyak banget, KBRI juga tahu masalah ini tapi memang sangat susah menyelesaikannya. Untuk melakukan pendataan juga sulit karena mereka biasanya lari karena ketakutan.

      Komnas perempuan sepertinya ada, coba nanti saya cari detailnya ya. Kalau untuk di KBRI ada rumah singgah yang menjadi penampungan para TKI bermasalah, sebetulnya sudah ada program yang sangat bagus, tapi ya itu, jumlahnya banyak sekali. Bisa dibilang KBRI Kuala Lumpur mungkin KBRI tersibuk di dunia.

  4. Teh menarik banget tulisannya. Miris ya ibu-ibu tkw, demi menopang hidup sampai segitunya mencoba peruntungan. Biaya yang besar ya utk calon majikan membayar ART, pantas sampai bela2in diajarkan keterampilan. Semoga negara kita bisa memperbaiki sistem sehingga hak-hak mereka tidak hilang

    1. Yup mahal banget untuk dapat ART disini Andina, gaji bulanannya juga lumayan. Dan disini umum banget ART hari minggu akan libur, ok sih sebenernya ya, mereka bisa istirahat, bisa kubilang lebih manusiawi.

      Amin, semoga ke depannya pemerintah Indonesia makin tegas untuk melindungi hak-hak mereka.

  5. Mba aku kepo, rate irt baik part time sama full time sama ga kayak indo? Apa lebih mahal?

    1. jauh lebih mahal Zeneth hehe, minimal gaji ART yang full time (tinggal di rumah) RM 1000 per bulan, tapi biasanya majikan ngasi 1500-1600 RM, ampir 5 juta lebih. Kalau yang part time sejam minimal 15 RM atau 50 ribuan.

      1. Di Belanda sejam gaji art 240 ribu hahahaha pedih.. makanya aku bilang sama suamiku gaji aku aja deh dibanding bayar orang lain 😆

        Semoga pemerintah RI semakin bijak mengurus TKW Indonesia ya. Supaya hak mereka lebih terlindungi.

        1. untuk ukuran Indonesia bisa buat gaji setengah bulan, ukuran Malaysia bisa buat 4 jam, tapi di Belanda kerja sejam ga cukup beli nasi goreng haha
          Betul, mending gaji Dea aja, trus kata suami, lha itu dah jadi mesin jahit lol

          Amin, semoga pemerintah makin bijak

  6. Aku pernah dapat cerita dari dosenku yang kehilangan paspor di negeri Jiran. Bahkan di kedutaan yang selayaknya negeri sendiri, walaupun dia dosen, orang kita selalu diperlakukan pukul rata seperti TKW. Sedih ga sih bahkan sesama orang kita di negeri jiran bisa dipandang sebelah mata.

    Terus ada lagi cerita, di Thai sini aku punya beberapa teman yang pernah jadi TKW di negeri jiran lainnya, tapi mereka ketemu majikan baik dan akhirnya memutuskan mandiri sih. Ceritanya beda-beda ya, kadang-kadang selain emang nasib yang kurang beruntung sepertinya ada juga masalah etos kerja.

    1. Hehe KBRI KL ni memang luar biasa Risna, mereka memang sibuk banget dan kayanya pusing banyak masalah saking banyaknya TKI itu. Kayanya cuma satu-satunya di dunia masuk kedutaan harus antri panjang tiap hari, sampe ada calo nyewain sepatu lho, karena masuk KBRI harus pake sepatu.

      Soal etos kerja itu aku setuju, masih banyak yang harus dibetulkan. Ada salah satu cleaner yang suka kuomelin karena kalau kerja sambil telpon-telponan huhu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *