[Menyapa Tambora] via Doropeti – Desa Pancasila

The day has finally came.

Kamis, 30 April 2015

Bali di pagi hari, harusnya sarapan nasi Jenggo dulu sambil ngupi-ngupi cantik. Tapi pagi – pagi kami sudah mandi dan berangkat menuju bandara. Check in bagasi yang over banyak, dan mencarikan tiket untuk teman yang ketinggalan pesawat di Jakarta tadi pagi. Perjalanan baru mau dimulai dan ada satu masalah kecil muncul, satu teman ketinggalan pesawat Jakarta – Bali, sebut saja Yanto namanya. Ternyata susah sekali mencari tiket di musim long weekend seperti ini, semua penerbangan dari Denpasar ke Bima penuh sampai keesokan harinya. Satu – satunya harapan ya menunggu ada yang cancel juga atau datang terlambat. Akhirnya Yanto memutuskan berangkat dengan pesawat kedua dari Jakarta ke Bali, berharap mendapat tiket ke Bima siang ini, kalau ga dapat juga silakan berlibur di Bali ya Yanto.

Kami bergabung dengan rombongan Jakarta di bandara Bali yang kece (toiletnya bersih, penting banget itu). Beberapa orang ada yang menginap dulu semalam di Bali, dan beberapa orang ada yang baru datang dengan flight pagi dari Jakarta. Sarapan pagi di bandara cukup menyedihkan, mahal dan tidak enak. Hiks padahal kalau melihat foto di buku menu sepertinya enak.

Jam 9 pagi pesawat kecil kami berangkat ke Bima, tepat waktu. Di dalam pesawat masalah baru muncul lagi. Ternyata tag bagasi teman – teman yang terbang dari Jakarta salah tujuan. Mereka baru sadar di Denpasar, bahwa bagasi mereka hanya sampai Denpasar instead of Bima. Tadi memang sempat meminta bantuan ground staff, tetapi tetap saja ada kekhawatiran bagasi itu tidak sampai ke Bima. Mari kita lihat.

Sementara kami semua sangat excited, 1 jam perjalanan di udara ternyata sangat singkat. Kurang lama untuk menikmati indahnya Bali – Lombok – Sumbawa dari udara. Sungguh Indonesia itu indah. Pulau – pulau kecil, laut biru dan biru tosca, savanna kecoklatan sampai puncak Rinjani yang melambai – lambai. Kata Pak Pranoto : Jadi kapan kita ke Rinjani nih May ? haha boleh – boleh Pak. Habis Tambora ya.

Kekhawatiran teman – teman mengenai bagasi menjadi kenyataan, ada 3 orang yang bagasinya tertinggal di Denpasar, katanya akan ikut pesawat berikutnya. Dan kami tidak sendiri. Ada 11 penumpang lainnya yang juga bagasinya tidak terbawa. Konon ini sudah biasa, ketika bagasi berlebih pasti akan di ikutkan ke pesawat berikutnya. Terpaksa kami berpisah sementara di Bima, 3 orang yang bagasinya tertinggal akan menunggu, ditemani oleh salah seorang supir.  Sedangkan 12 orang lainnya akan langsung menuju Doropeti. Rencananya kami akan bergabung kembali di Camp 1. nanti akan akan ada yang porter yang menemani rombongan ke 2 dari Doropeti.

Sekitar pukul 2 siang kami tiba di Doropeti. Hanya 3 jam perjalanan saja dari bandara Bima ke Doropeti, jalan antar kota sudah teraspal baik, walaupun di beberapa titik rusak dan ada juga yang baru saja amblas. Sepertinya peringatan 200 tahun Tambora menyapa dunia membawa banyak hal baik : aspal jalan yang baru.

Sholat, re-pack barang, ngobrol sebentar dengan porter, dan akhirnya kami siap berangkat pukul 3:30. Kedatangan kami di Pos Pengamatan Gunung Tambora disambut meriah, boleh jadi hampir semua anak kecil di desa datang ke pos, tentunya mereka tidak datang sendirian. Banyak juga Ibu-Ibu yang juga ikut datang menemani. Mereka sangat antusias melihat kami dan melambai – lambai melepas kepergian kami mendaki Tambora. Sayangnya saat itu saya tidak punya apa – apa untuk dibagikan, ingin sekali suatu saat kembali lagi ke Doropeti untuk mereka. In Sha Allah.

anak – anak Desa Doropetie
full team siap berangkat, minus Romi dan istri, Valen, Yanto dan Arif

Sesuai rencana awal kami naik truk pasir ke batas desa, 30 menit perjalanan di jalan aspal bercampur makadam. Seru juga, semua memilih duduk di bak belakang. Lupa deh urusan harus pakai seat belt. Di batas desa kami turun, berdoa dan mulai berjalan. Sesuai rencana satu orang Guide berjalan di depan sebagai penunjuk jalan, dan ada satu orang menjadi sweeper. Target kami ngga ngoyo, sebelum gelap harus tiba di camp. Menurut tim advance hanya 1 jam perjalanan saja, mari kita lihat berapa lama kenyataannya, semoga benar hanya 1 jam.

berdoa bersama sebelum memulai perjalanan hari pertama

Seperti biasa awalnya kami berjalan bersama untuk kemudian berpisah. Melewati ladang jagung yang seru, pohonnya tinggi – tinggi, dan kebetulan saat itu musim panen. Kami banyak bertemu dengan para petani yang sedang panen. Pohon jagung kecoklatan, sunset, menemani perjalanan kami sore itu.

Camp 1 ternyata memang tidak terlalu jauh, sebelum pukul 6 kami semua sudah berkumpul. Tenda – tenda sudah disiapkan, Sholat Maghrib, berbincang – bincang santai, sambil menunggu makan malam siap. Menu hari ini cukup istimewa : nasi, ayam goreng, sayur sop. Hanya kurang sambal dadak saja.

Teman yang datang menyusul tiba sekitar pukul 8:30, alhamdulillah mereka tidak terlalu kemalaman di jalan. Walaupun Valen terkena diare, sepanjang jalan sudah mampir beberapa kali. Penyakit lama muncul lagi haha. Senang melihat Yanto bisa bergabung, ternyata ada manfaatnya juga ada bagasi yang tertinggal, secara tidak langsung mereka menunggu Yanto yang tiba di Bima dengan pesawat ke 2 dari Denpasar.

Malam ini kami cepat – cepat tidur, sesuai kesepakatan kami akan mulai berjalan pukul 7 pagi. Pagi sekali memang, karena perjalanan besok sangat panjang, Camp 4.

Jumat, 31 April 2015

Hari yang panjang siap dimulai. Sarapan kami sudah siap dari pukul 6, nasi goreng dengan telur ceplok. Makan siang juga sudah disiapkan, nasi bungkus 1 orang 1. Nasi putih, pecel sayuran dan dendeng daging. Hmm bikin lapar kan. Kami mulai berjalan pukul 7 pagi, strategi berjalan yang sama, Guide, kami , sweeper. Porter akan berjalan menyusul, beberapa tinggal untuk membereskan camp terlebih dahulu.

tim seleb yang datang menyusul

Kami memulai berjalan di jalur HTI yang dulu sempat aktif sebelum penebangan pohon dilarang. Sampai sekitar 3 tahunan lalu kita masih bisa menggunakan mobil dari Desa Doropeti hingga mendekati pos 2 di ketinggian 1300an mdpl. Lumayan, hemat tenaga sekitar setengah hari perjalanan. Sayangnya sekarang jalan telah terputus di beberapa titik. Kalau mau nekat pakai motor masih bisa sih, tapi saya lebih memilih jalan kaki aja, serem naik motor.

Rombongan mulai terpecah menjadi 3 kelompok, kelompok pertama kita sebut saja tim atlit, terdiri dari Pak Pran, Prita dan 5 expat yang memang atlet :D. Kelompok kedua kita sebut saja tim seleb, terdiri dari Valen, Fitrix, Romi dan istri, Radi, Yanto, Ruly. Ruly sebetulnya bisa saja masuk tim atlit, tapi dengan penuh tanggungjawab Ruly memutuskan mengawal tim seleb yang ceria dan terkadang galau. Kelompok ketiga tentu saja terdiri dari kami bertiga, plus Huzeyn sebagai body guard. Baiknya kita sebut saja sebagai tim super seleb yang mengawal satu anak kecil bernama Cici.

Sesuai namanya tim atlit melaju kencang, tim seleb berjalan cepat tapi santai sedang tim super seleb ya berjalan sesuai mood Cici, kaki kecilnya terus berjalan dan lumayan cepat sebetulnya, hanya banyak istirahat karena terlalu banyak yang ingin dilihat dan dibahas. Cici cepat cape karena kebanyakan ngomong.

menikmati sekali

Sekitar pukul 10 kami mulai memasuki area hutan yang sebenarnya, jalan setapak kecil yang landai di hutan yang lebat. Lintah, pacet, daun jelatang, semua ada disini. Senangnya karena tidak ada sampah sama sekali, betul – betul masih terjaga. Tidak ada tanjakan yang berarti, karena saat ini kami masih berjalan di punggungan yang landai, mengelilingi hutan. Altimeter di jam tangan menjadi penunjuk ketinggian yang sedikit-sedikit kami cek, menunggu angka bergerak ke 2000 an meter, pertanda camp sudah dekat.

Tim super seleb bertemu dengan Bang Jon sekitar pukul 12 siang, hujan lebat dan Bang Jon menawarkan diri untuk menggendong Cici, tentu saja anak kecil ini senang hehe. Menurut Bang Jon tim atlit sudah jauh di depan, sedangkan tim seleb berada sekitar 1 jam di depan kami. Ternyata tidak terlalu jauh. Kami memutuskan untuk terus berjalan di tengah guyuran hujan, tujuan kami masih jauh, saat itu kami masih di ketinggian 1500 an meter. Setelah hujan reda Bang Jon berjalan duluan, kami meminta Bang Jon untuk mengawal tim atlit yang sekarang sudah bergabung dengan tim seleb. Semuanya alhamdulillah dalam kondisi sehat.

Kami sempat berhenti sebentar untuk makan siang ( juara 1, nasi bungkus dengan pecel sayuran dan dendeng) dan terus berjalan di punggungan landai tanpa henti. Menjelang malam jalan mulai menanjak, pohon cemara mulai terlihat tapi hutan masih lebat. Tim atlit dan seleb sudah berada di ketinggian 2,200 meter, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dan ngecamp di Camp 5 saja, di punggungan terakhir menuju bibir kaldera. Camp 4 ternyata kurang ideal untuk bermalam, masih di tengah hutan yang lembab, rawan pacet dan lintah.

Ketika hari gelap Cici mulai berjalan perlahan dan diam saja, terus terang kami mulai khawatir, takut tidak bisa sampai camp malam ini. Kami membawa tenda, kompor dan makanan, tapi bermalam di tengah hutan sepertinya bukan pilihan yang baik. Dalam hati saya berdoa, tim rescue datanglah, Cici perlu bantuan. Hari ini kami sudah berjalan lebih dari 12 jam, orang dewasa saja sudah lelah luar biasa, apalagi kaki kecil Cici. Saya, Helmy dan Huzeyn, masing – masing membawa ransel, tidak memungkinkan untuk menggendong Cici di depan. Setelah berdiskusi panjang diputuskan Huzeyn akan menggendong Cici, sebisa mungkin berjalan duluan ke camp. Yang penting Cici selamat dan bisa tidur di tenda. Ransel Huzeyn yang segede kulkas ditinggalkan di jalur, rencananya besok akan kami ambil atau kalau memungkinkan malam ini kembali lagi.

Sementara komunikasi via HT dengan tim atlit dan tim super seleb terputus, sepertinya angin kencang di atas sana. Kami hanya bisa berkomunikasi dengan Pak Harris di Doropeti, meminta bantuan tim rescue untuk menjemput. Setelah Huzeyn dan Cici berjalan duluan, otomatis tinggal saya dan Helmy di belakang. Huzeyn sudah pasti tidak akan terkejar, dan akhirnya sayapun terpisah dari Helmy. Hore bukan saya paling belakang 

Hutan sangat gelap, bermodalkan headlamp saya berjalan sendirian mengikuti tanda jalur yang dipasang oleh Bang Jon. Malam – malam mencari tanda jalur bukanlah hal mudah, police line orange hitam yang dipasang sebagai string line tidak terlihat dengan jelas. Tetapi berhenti di hutan juga bukan pilihan, lebih baik berjalan terus. Cita – cita saya hanya satu : berjalan sampai camp 5, tiba malam ini dan ada di samping Cici ketika Cici bangun besok pagi. Cici anak baik hati awalnya sempat tidak mau digendong Huzeyn. Entah karena alasan apa. Setelah dibujuk akhirnya Cici mau dan saya berjanji bahwa saya akan ada di samping Cici ketika Cici bangun besok pagi. Belakangan saya baru tahu, ternyata Cici mengingat betul janji saya itu, dia takut saya kemalaman dan besok pagi tidak akan bertemu di tenda.

Sekitar pukul 10 malam akhirnya saya keluar dari hutan, ketinggian 2,200 an m dpl. Bulan purnama dan langit cerah sekali. Jalur mulai menanjak, ekstrim. Jauh di atas sana terlihat lampu menyala, sepertinya itu camp kami. Saya memutuskan untuk terus berjalan, hampir tanpa berhenti. Tanjakan – tanjakan curam sebenarnya menyenangkan di malam hari. Kita bisa fokus terus berjalan dengan berhati – hati, lupa dengan rasa capai. Di tengah jalan saya sempat bertemu dengan rombongan porter Bima, duh kenapa mereka disini. Mereka beristirahat di jalur, sedikit memaksa saya meminta mereka terus berjalan ke camp. Bukan apa – apa, mereka membawa logistik, tenda dan yang pasti saya juga perlu teman.

Tidak berhasil memaksa dan saya berjalan lagi, lampu nampak semakin dekat. Saya mulai berteriak memanggil Huzeyn dan Cici, sampai ada jawaban dan Husen datang menjemput. Rescue ransel haha. Tapi dasar nasib, ternyata Huzeyn-pun belum sampai camp. Arif dan beberapa porter Bima memutuskan berhenti sebentar untuk makan malam. Tim atlit dan tim seleb sudah sampai di camp 5 pukul 9 malam. Mereka ditemani 5 porter Doropeti dan sekarang sedang makan malam.

Ternyata kami semua kemalaman, tapi saya bersyukur semua sehat dan selamat. Cici pun tertidur lelap di dekat api unggun. Saya sangat lapar dan haus, tapi saya ingin terus berjalan menuju camp. Huzeyn meminta bantuan 1 porter Doropeti untuk turun menjemput Cici dan melanjutkan berjalan ke camp 5 bersama Arif. Helmy entah dimana, mungkin tertidur di jalan. 3 porter Bima juga masih di belakang.

Sabtu, 1 May 2015

Pukul 1 dinihari, akhirnya setelah 18 jam berjalan saya tiba di Camp 5, alhamdulillah. Tenda sudah berdiri, beberapa porter sedang memasak dan makan malam. Beberapa teman sudah tertidur, dan saya sempat bertemu dengan Prita, Pak Pran, Yanto dan Ruly yang tidak menyangka saya memutuskan untuk terus berjalan. Malam itu saya dan Cici menumpang tidur di tenda Ruly dan Prita, langit cerah, dingin, lapar tapi sekali lagi saya bersyukur sudah tiba di camp. Pagi ini Cici akan bangun dan melihat saya di sampingnya.

Helmy tiba di camp pukul 5 pagi bersama Huzeyn. Betul dugaan saya, mereka sempat tidur dulu di jalur. Alhamdulillah kami semua berkumpul kembali. Tapi masih ada 3 porter Bima tertinggal di belakang, mungkin ketiduran juga di jalan. Camp mulai ramai, semua sudah bangun dan asik foto – foto. Suasana pagi di Camp 5 luar biasa menyenangkan. Langit cerah, sedikit berkabut dengan jarak pandang yang luas. Sarapan pagi kami sederhana, teh hangat dengan roti plus nanas potong.

Bang Jon, Helmy dan Pak Pran

Seperti hari sebelumnya kami memutuskan untuk segera meninggalkan Camp 5, perjalanan pulang masih jauh. Kami masih harus melewati bibir kaldera, Puncak Pancasila kemudian turun menuju Desa Pancasila. Rombongan kembali terbagi 3, sebagai tim super seleb kami meninggalkan camp pukul 9 pagi. Ransel Huzeyn akan dijemput oleh salah seorang porter Doropeti, alhamdulillah, akhirnya Husen bisa muncak juga. Pak Yamin sang Koki berhasil dibujuk untuk turun via Doropeti.

tim atlet dan tim seleb
tim super seleb, photo taken by Arif

Penuh semangat kami berjalan ke arah kaldera, berjalan santai, menikmati landscape yang luar biasa. Puncak Pancasila tepat di depan kami. Menakjubkan.

amazing landscape, Puncak Pancasila di depan

Menjelang pukul 11 siang kami tiba di bibir kaldera. Kami memutuskan untuk berhenti dan makan siang disini, menu istimewa : nasi, rendang dan gudeg. Maka nikmat manakah yang kita dustakan. Sementara tim atlit dan tim seleb sudah tiba di Puncak, alhamdulillah.

santai di bibir kaldera

Cukup lama kami berhenti di bibir kaldera, mengambil foto, berbincang santai, Cici menggambar dan pastinya bermain pasir.

bahagia bermain pasir
menggambar

Kami mulai berjalan kembali sekitar pukul 1:30. Saya berjalan duluan bersama Cici, kemudian Cici berjalan bersama Helmy ke puncak. Dari kejauhan saya bisa melihat Cici berlari sendirian menuju puncak, jauh meninggalkan saya dan Helmy. Luar biasa terharu. Ini pertama kalinya Cici sampai di puncak gunung dengan kaki kecil-nya sendiri. Selamat ya Ci, Cici tabah luar biasa.

di Puncak Pancasila, Gunung Tambora

Puncak Pancasila (2,851 m dpl) adalah puncak tertinggi di Gunung Tambora. Kami merayakannya dengan pesta kecil, pesta buah kaleng dan apel. Cepat – cepat kami mengambil foto, dan bersiap untuk turun. Kabut turun dengan cepat dan jarak pandang terbatas. Dua kali kami mengambil jalan yang salah, balik lagi ke puncak dan lagi – lagi tidak bisa menemukan jalan turun yang benar. Sementara angin sangat kencang, akhirnya kami meminta bantuan melalui HT, lagi – lagi meminta salah seorang porter untuk menjemput. Seharusnya ada porter sweeper di belakang kami, tapi entahlah, mereka sepertinya masih jauh di belakang.

Pukul 5 sore bantuan datang. Pak Gun datang menjemput kami ke puncak. Beliau datang dari Pos 5 dengan menggunakan sandal jepit, sweater, tanpa senter sambil membawa HT dan kabel antena. Heroik. Akhirnya bersama Pak Gun kami bisa menemukan jalan yang benar, ternyata kami harus berjalan dulu melipir kawah dan kemudian mengambil punggungan turun ke arah Pancasila. Mudah saja ternyata, kalau tidak ada kabut.

Menurut Pak Gun tim atlit dan tim seleb sudah tiba di Pos 5 jam 4 sore, mereka sempat berhenti dulu dan makan disana. Tim atlit memutuskan turun langsung dan tim seleb tentunya memutuskan beristirahat lebih lama. Semoga mereka semua masih sehat dan semangat. Perjalanan turun ke Pos 5 gampang – gampang susah ternyata. Hari mulai gelap dan hujan turun. Cici awalnya masih ingin berjalan sendiri, berulang kali kami menawarkan menggendong, tapi Cici menolak. Sampai akhirnya pukul 8 malam, sepertinya Cici sudah sangat mengantuk. Cici bersedia digendong oleh Helmy.

Formasi pun berubah, Pak Gun membawakan ransel Helmy dan turun duluan ke Pos 5 bersama Huzeyn. Saya, Helmy-Cici dan Arif berjalan di belakang. Pos 5 yang dinanti tidak juga terlihat, sementara hujan semakin lebat, angin kencang, dan kami lelah luar biasa. Akhirnya kami memutuskan memasang flysheet dan beristirahat sebentar, saya bahkan sempat tertidur. Cici kami selimuti dengan emergency blanket, pulas tertidur. Sesaat kami sempat putus asa dan berfikir untuk ngecamp saja disini. Perjalanan turun masih jauh sekali.

Tetapi orang baik hati ada dimana – mana. Tiba – tiba ada seruan salam. Huzeyn ternyata datang bersama Brian – adik kelas saya yang ngecamp di Pos 5. Brian ini satu kampus dan satu organisasi dengan saya. Sejujurnya saya lupa apakah pernah bertemu atau tidak dulu sewaktu di kampus, maklum beda 9 tahun haha. Brian naik Tambora via Pancasila bersama beberapa teman saya yang lain, Alfin, Nina, Dinna, Mba Shinta, adiknya Brian dan Dian. Mereka naik di hari yang sama dengan kami, setelan super santai dan malam ini mereka ngecamp di Pos 5 sebelum summit attack besok pagi. Perjumpaan yang sudah saya perkirakan, walau saya tak pasti akan berjumpa dimana. Tapi malam itu mereka menjadi penyelamat kami, minuman hangat dan makan malam disajikan, perbincangan hangat dengan sahabat. Sanggup membangkitkan semangat yang tadi sempat hilang.

Sayangnya kami tidak bisa mengobrol lama, berfoto pun tak sempat. Sekitar pukul 11 kami meninggalkan pos 5 dengan tujuan akhir Desa Pancasila. Pak Gun berjalan duluan, Huzeyn menggendong Cici, dan seperti biasa di belakang ada saya, Helmy dan Arif. Jalur turun dari Pos 5 ternyata sangat menyenangkan, jalur jelas, sangat landai dan pastinya turun terus. Sebentar saja dan duet maut Pak Gun – Huzeyn Cici sudah jauh di depan. Sementara Helmy – Arif jauh di belakang. Mau tidak mau saya berjalan sendiri di tengah – tengah.

Takut kah ? sedikit. Saat itu saya tidak sempat memikirkan hal lain, saya hanya ingin berjalan terus dan cepat tiba di bawah. Bertemu Cici dan teman-teman. Air minum hanya ada 1 botol 600 ml, sedikit – sedikit saya minum, berhemat. Dan ternyata saya bisa. Saya tiba di Pos 2 pukul 3 pagi, non stop berjalan, hanya sesekali berhenti untuk minum seteguk. Air di botol masih bersisa 1/2.

Minggu, 2 May 2015

Di Pos 2 kejutan menanti, ternyata tim seleb berisirahat disini, ada juga Pak Gun, Huzeyn, dan tentunya Cici yang tertidur lelap. Alhamdulillah, senang sekali bisa bertemu mereka disini. Ternyata tim seleb tiba di Pos 2 pukul 9 malam, mereka sudah kelelahan luar biasa dan akhirnya memutuskan untuk berhenti dahulu disini, makan malam dengan menu ajaib dan tidur sebentar. Mereka mengajak saya langsung berjalan dan saya menyanggupinya. Minum sebentar sepuasnya dan siap – siap berjalan kembali. Cici dan Huzeyn akan menunggu hari terang, sambil menunggu Cici bangun tidur. Akhirnya kami berjalan kembali ditemani 3 orang porter, tujuan akhir sudah jelas, Desa Pancasila.

Tetapi perjuangan belum selesai, awalnya saya tidak percaya ketika porter mengatakan bahwa jarak tempuh dari Pos 2 ke Batas Desa sekitar 3 jam, masih jauh dong ! Padahal awalnya kami berfikir batas desa sudah dekat. Sudah membayangkan ojeg ojeg manis datang menjemput. Baiklah, kita terus berjalan. Saya berjalan paling belakang ditemani Valen dan Ruly, yang heboh membahas perjalanan kemarin. Kami juga bertanya – tanya, tim atlit sudah sampai mana ya ?

Menjelang Shubuh kami tiba di Pos 1, ada saung kecil disana. Kami beristirahat sebentar dan sholat Shubuh disini. Di pos 1 ada percabangan antara jalan setapak menuju batas desa (yang dikenal dengan jalur pipa air) dengan jalan makadam seukuran mobil. Jadi kenapa ojeg ngga jemput kesini ya ? Rasa-rasanya kami semua sudah senewen. Semua ingin pulang dan tidak boleh kesiangan. Flight pulang ke Jakarta jam 2 sore, kami harus tiba di Desa Pancasila secepatnya.

Pukul 6 pagi kami bergegas berjalan lagi, mengikuti jalur pipa air, sekarang semua terdiam. Hari masih agak gelap, mungkin segelap suasana hati sebagian besar dari kami yang takut ketinggalan pesawat. Di saat – saat akhir ini jalan seperti tak berujung, kami terus mengikuti pipa air, melewati ladang kopi, dan akhirnya terdengar lah suara motor di depan sana. Tapi masih jauh juga haha.

Tapi tiada perjalanan tanpa akhir. Pukul 7 pagi saya tiba di batas desa, hujan yang turun semenjak di Pos 1 bertambah lebat. Kami semua basah kuyub, lelah luar biasa dan kedinginan. Sabar menanti ojeg sambil mentertawakan perjalanan kemarin. Bang Jon ternyata menunggu kami di batas desa, menurut beliau tim atlit tiba di batas desa pukul 12 malam. Sayangnya dari semalam hujan sangat lebat, jalanan sangat licin dan mobil/motor yang seharusnya menjemput kami tidak bisa naik. Akhirnya mereka memutuskan menginap di homestay Tambora yang terletak dekat dengan batas desa. Tadi pagi mereka sudah dijemput ojeg dan sekarang sudah berada di Desa Pancasila. Alhamdulillah, lagi – lagi kami bersyukur.

Ojeg ojeg offroad mengantar kami ke Desa Pancasila, jalanan super licin dan motor bebek, tetapi Pak Supir luar biasa hebat. Tidak ada seorang pun yang jatuh, ternyata kejutan Tambora belum berakhir.

Pukul 7.30 pagi akhirnya kami tiba di Desa Pancasila, disambut dengan hujan yang semakin lebat. Teh manis dan Pop Mie hangat dari warung Bang Ipul menjadi menu sarapan istimewa. Tim atlit ternyata sudah berangkat ke bandara dan beberapa dari tim seleb langsung menyusul ke bandara. Tinggal saya, Valen dan Ruly menunggu tim super seleb yang tersisa di belakang. Cici Huzeyn tiba pukul 8.30, senang sekali melihat Cici tersenyum, walaupun baju basah kuyub dan saya tahu dia pasti kelelahan. Kamu tabah sekali Cici.

Hari Minggu yang menyenangkan, seharian kami beristirahat di homestay Bang Ipul, menunggu teman – teman yang satu-persatu datang. Rekor paling dahsyat tiba di Desa Pancasila jam 7 malam haha.

Tuntas sudah perjalanan kami di Gunung Tambora, perjalanan yang luar biasa, yang mengajarkan banyak hal. Malam terakhir kami kembali ke Doropeti mengunjungi Pak Harris dan makan malam bersama, masakan istri Bang Jon yang istimewa, itik bakar dengan sambal bawang yang super sedap.

Bersama Pak Harris, Bang Jon dan istri di Pos Pengamatan Doropetie, habis pesta bebek

Terimakasih Tambora, terimakasih Bang Jon dan istri, Pak Wahibur, Pak Gun, semua porter dari Bima dan Doropetie, Pak Harris, Bang Ipul dan keluarga, semua supir ojeg offorad, semua supir avanza, dan yang pastinya terimakasih untuk semua teman – teman tim atlit, seleb dan super seleb. Tujuan kita sudah tercapai, kembali dengan selamat, alhamdulillah. Sampai jumpa di perjalanan berikutnya.

Group Photo di hari terakhir di Desa Pancasila bersama Umi – Kepala Dinas Pariwisata Dompu dan Bang Ipul

Menyapa Tambora

Bagian 1 : [Menyapa Tambora] Banyak Jalan Menuju Puncak – sereleaungu

Bagian 2 : [Menyapa Tambora] Doro Ncanga vs. Doropeti – sereleaungu

9 Comments on “[Menyapa Tambora] via Doropeti – Desa Pancasila”

  1. Wowww! Membaca kronologi lengkap masing-masing personal membawa pikiran saya, ada di dalam rombongan ehehe, masuk tim super seleb ahh, ada hiburan lucu dan menggemaskan, Cici. 🙂

    Brati kala itu, Cici masih 5 tahun-an ya May, dan dia kuat hiking berjalan belasan jam menuju Puncak Pancasila, Gunung Tambora.

    Dan lagi-lagi, melalui tulisan May, saya baru tahu mengenai keberadaan Bima dan Doropeti.

    Btw, May dan teman-teman di sini, merupakan anggota suatu club pecinta alam kah? Atau memang para alumni KMPA ITB yang suka menjadwalkan liburan bersama? Seru dan kompak sepertinya, sama sama suka bertualang. 🙂

    1. Betul Uril, waktu itu Cici masih 5 tahun. Udah terlalu berat untuk digendong kan, alhamdulillah tapi Cici kuat juga jalan sama kita.
      Waktu Tambora ini saya pergi dengan teman-teman di kantor lama di Jakarta Uril, memang banyak juga yang suka naik gunung, tapi ada juga yang baru pertama kali hehe

  2. WOW! Aku malu dengan Cici. Kayaknya, aku ga akan mau jalan jauh dan lama begitu, heheehe.. Salut lah dengan Mbak May dan keluarga yang dengan tekun mengajarkan anak juga untuk menjadi pecinta alam sejati.

    Keren ini tulisannya aja panjang, pasti waktu jalan udah tertanam rencana apa saja hal-hal yang perlu dituliskan dan aslinya lebih panjang lagi yang dialami ya.

    1. ini sebetulnya ada cerita sambungannya, ternyata kita dikira ilang di gunung, beritanya : anak perempuan 5 tahun hilang dengan ibunya di Puncak Tambora haha, kocak banget kalau ingat lagi. Tapi belum ditulis.

      Dulu Cici mau kayanya karena ga ada pilihan lain lol, sekolah pun dipaksa bolos, tapi kayanya dia memang seneng juga sih, bisa main soalnya.

  3. Saya berasa ikut dalam perjalanan menuju ke Puncak Pancasila dengan membaca tulisan ini, teh. Salut juga sama anaknya, 5 tahun sudah sampai ke Tambora. Keren deh!

    1. makasih Riska, hihi iya, alhamdulillah waktu itu Cici kuat dan sehat bisa sampai ke puncak dan pulang lagi.

  4. Masya Allah, luar biasa pengalamannya teh… Pasti seru dan berkesan. Saya yang bukan tipe pendaki gunung dan pecinta alam, menyimak dengan baik aja deh, tulisannya, hehehe….

    Cici itu putri teteh kah? Kata teh Riska di komentar di atas usia 5 tahunan ya waktu itu? Seumuran sama anakku sekarang… Masya Allah hebat yaa kuat jalan sejauh ituu

    Ini tuh rombongan teman kantor mana, teh?

    1. Betul Puti, Cici putri saya, dulu pas ke Tambora umur 5 tahun, alhamdulillah.
      Ini dulu dengan teman sekantor di Jakarta, dulu saya kerja di BP

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *