Semalam di Sonam Guest House, Nubra Valley

Tadi pagi, tiba-tiba saya teringat dengan perjalanan ke Ladakh di bulan Agustus 2017. Family trip kami ke India untuk pertama kalinya, yang terinspirasi oleh film 3 Idiot. Hingga saat ini, 5 tahun berlalu, belum banyak cerita yang saya tuliskan, padahal sangat berkesan. Salah satunya adalah pengalaman menginap di Sonam Guest House, Nubra Valley.

Hari ke 12 di India dan hari ke 2 road trip kami di Nubra Valley, Ladakh. Kami memulai perjalanan dari Leh, melintas Khardung La Pass, menginap di Hunder, mengunjungi Tuk Tuk village yang berada di perbatasan India-Pakistan sampai akhirnya kami tiba di Diskit, ibukota-nya Nubra Valley.

The Nubra Valley is located in the northernmost part of Ladakh, at an altitude of just over 3,000 meters (about 10,000 feet) above sea level. It lies between the mighty Karakoram and Ladakh mountain ranges, about 150 kilometers (93 miles) north of Leh across the Khardung La mountain pass. The area is actually made up of two valleys — Nubra and Shyok — created by rivers of the same names. These rivers originate from the Siachen Glacier, on either side of the Karakoram Range. The Nubra River merges into the Shyok River near Diskit (the headquarters of the Nubra Valley). In addition to Diskit, popular destinations Hunder, Turtuk and Tyakshi are situated alongside the Shyok River, which joins the Indus River in Pakistan.

Ladakh’s Nubra Valley: The Complete Guide (tripsavvy.com)

Kami tiba di Diskit sekitar pukul 4 sore. Popo, guide merangkap driver dalam perjalanan ini membawa kami ke sebuah penginapan, Sonam Guest House namanya. Sepertinya Popo sering membawa tamu ke sini. Mrs. Sonam – ibu pemilik guest house ramah menyambut kami dan mengobrol akrab dengan Popo.

Mrs. Sonam mengajak kami ke lantai dua dan mengantar ke kamar. Sederhana tapi bersih dengan pemandangan luar biasa Nubra Valley. Ada kamar mandi dalam dan air hangat. Handuk bersih juga tersedia, dan pastinya tumpukan selimut yang akan sangat berguna di malam hari. Summer di Nubra Valley tetap dingin, sepanjang hari kami tetap memakai jaket, dan di malam hari suhu rata-rata di bawah 10 derajat celcius.

Mrs. Sonam membawakan kami teh hangat, mengobrol sebentar dan seperti biasa beliau kaget mengetahui kami berasal dari Indonesia, negara yang sangat jauh.

Sambil menunggu jam makan malam kami berjalan-jalan di sekitar guest house. Diskit adalah daerah tujuan wisata, ada satu monastery besar – Diskit Monastery yang ramai dikunjungi para peziarah. Tidak heran kalau banyak penduduk lokal yang membuka pintu rumahnya untuk tamu, menjadi guest house seperti rumah Mr. dan Mrs. Sonam. Tapi sebetulnya mata pencaharian mereka yang utama adalah bertani. Gandum, mustard, kentang, barley, apel, apricot, walnut, almond, semua bisa ditemukan dengan mudah disini.

Di belakang guest house ada kebun sayuran yang membuat saya terkagum-kagum, the real organic backyard garden. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka menanam sendiri berbagai jenis sayuran, daun mint, sampai daun bawang. Sore itu, putra mereka sedang “panen”, memetik sayur-sayuran untuk makan malam. Menyenangkan ya. Saat sarapan keesokan harinya Mrs. Sonam membuatkan saya mint tea dengan daun mint yang dipetik langsung dari kebun, fresh dan organik. Solusi pangan keluarga yang terbaik, bayangkan kalau tidak ada kebun, berbelanja ke kota terdekat sama dengan 6 jam perjalanan (one way) naik bis umum yang tidak tentu jadwalnya.

Menjelang pukul 7 malam kami sudah berkumpul di ruang makan. Saat itu kebetulan ada satu tamu lain, perempuan – Korean yang sedang backpacker-an keliling India sendiri. Malam ini kami akan makan malam bersama, tradisi penginapan di Nubra Valley, harga kamar sudah termasuk makan malam dan sarapan.

Mrs. Sonam masih sibuk di dapur, mempersiapkan makan malam untuk kami, dibantu oleh suami dan putranya. Popo bercerita sebetulnya anak laki-laki yang kami temui di kebun bukan putra mereka. Tapi murid Mrs. Sonam yang ikut tinggal di rumah. Mrs. Sonam di pagi hari bekerja sebagai guru sekolah dasar, tak heran kalau Bahasa Inggris-nya sangat bagus.

Ruang makan di Sonam Guest House, tidak ada kursi, hanya meja kayu panjang

“Putra” mereka berasal dari desa yang jauh di gunung, tidak memungkinkan untuk pulang pergi rumah-sekolah tiap harinya. Selama musim sekolah di musim panas dia akan tinggal di guest house untuk kemudian pulang ke rumahnya ketika sekolah libur di musim dingin. Anak-anak tinggal di rumah guru atau di rumah penduduk lainnya adalah hal yang biasa, walaupun tidak ada hubungan keluarga. Sebagai gantinya mereka akan membantu membersihkan rumah, memasak atau mengurus kebun.

Menu makan malam kami sederhana saja, seperti biasa yang kami temukan di Leh. Tumis sayuran, dhal (sejenis sup kacang), chapati dan nasi. Vegetarian menu karena sebagian besar penduduk Nubra Valley beragama Budha. Walaupun nampak biasa saja tapi percayalah rasanya sangat enak. Mr. dan Mrs. Sonam sangat ramah, mereka makan bersama-sama kami dan bercerita banyak hal, saya merasa seperti pulang ke rumah saudara.

Cuaca ekstrem di Nubra Valley tidak memungkin mereka tinggal di sana sepanjang tahun. Memasuki musim dingin – sama seperti di Pangong, mereka akan menutup guest house dan pindah ke Leh. Sekolah akan ditutup, tidak ada turis yang datang karena akses jalanpun tertutup salju. Musim panas adalah saat terbaik untuk bekerja dan mengumpulkan uang untuk bekal hidup di musim dingin.

Tidak ada pegawai di guest house ini, semua mereka lakukan bertiga. Sebelum berangkat mengajar Mrs. Sonam akan menyiapkan sarapan untuk tamu, bersih-bersih sekaligus menyelesaikan semua urusan administrasi guest house. Mr. Sonam bertugas memasak makan siang ketika ada tamu dan mengurus kebun. Life is hard but not impossible.

Mrs.Sonam – kami bertiga – Popo

Pagi harinya kami kembali berkumpul di ruang makan dan sarapan bersama. Mrs. Sonam mengajak saya ke dapur dan mengajari saya membuat Tibetan Bread, makanan favorit Cici. Tibetan bread dan fresh mint tea adalah kombinasi terbaik untuk sarapan pagi.

Pagi itu saya meninggalkan Diskit dengan perasaan penuh, satu malam yang menyenangkan di Nubra Valley. Mungkin ini alasannya saya sangat suka berjalan-jalan, bukan saja karena tempat yang indah tapi adanya kesempatan untuk bertemu dengan orang – orang baru dan mendengarkan cerita mereka. The true power of travel.

Namaste !

14 Comments on “Semalam di Sonam Guest House, Nubra Valley”

  1. Travelling-nya Teh May dan keluarga itu menurutku selalu out of the box. Nggak tipikal travellingnya orang Asia yang kota-kota, foto-foto, dan belanja. Tentu tidak semua begitu yaaa… 😜
    Menginspirasi sekali teh!… 🤩👍

    1. Teh Alfi, aku juga suka belanja lho hehe. Cuman bukan barang branded gitu sih, ga suka dan juga ga punya duitnya. Tapi aku suka banget pernak pernik yang unik atau buatan lokal gitu, waktu ke India kedua kalinya aku beli karpet, dari bulu unta, belinya di padang pasir haha, kalau ingat sekarang aneh banget emang. Padahal itu masih awal2 jalan, jadinya sepanjang perjalanan suamiku ngomel2 karena harus gotong-gotong karpet 😀

  2. Seperti biasa teh May, cerita travelling yang sangat sangat menarik. Keren banget bisa traveling karena terinspirasi three idiots. Destinasi wisatanya juga keren keren.

    Seneng banget ya bisa dapet guest house yang ‘sehangat’ itu. Selain dapet pemandangan baru bisa dapet cerita-cerita dan teman baru juga.

    1. Makasih Teh Dini, iya ni, yang di Diskit ini guest house yang paling asik. Kalau di tempat lain kami nginap di guest house juga tapi yang jaga pegawai, jadi ga terlalu berkesan. Yang di Bu Sonam ini memang yang paling hangat.

  3. Selalu seru baca cerita Teh May. Serasa baca liputan di natgeo atau intisari jaman dulu. Jadu inget dulu gara-gara 3 idiots juga sempet pengen ke Ladakh. Apalagi ada promo Air Asia. Sayang kurang nekad waktu itu. Haha. Padahal dulu masih single dan belum perlu mikirin dapur XD harusnya nekad aja yaa

    1. hehe banyak juga yang kena racun 3 idiots ya, tapi dulu yang paling epic kukira sekolahan sama Pangong Lake itu deket, padahal jauh banget 😀
      InshaAllah nanti ada kesempatannya bersama krucils kesana ya Restu.

      Btw Restu tahu Intisari ya, itu salah satu majalah favoritku, mulai baca dari kelas 2 SMP, dan tulisan pertamaku pertama kali dimuat di Intisari, dapat 75 ribu. Sayang Intisari sekarang kurang menarik, kurang greget gitu ya tulisan-tulisannya. Agak beda dengan dulu.

  4. Sudah 5 tahun lewat, teh May masih ingat ya detil dan nama-nama orang di perjalanan. Aku lewat setahun mungkin udah lupa nama, hehe

    1. Karena ada catatannya Andina, dan beberapa suka ku post di Instagram, lumayan ngebantu ternyata. Pelan-pelan pengen kutulis semua nih, semoga istiqomah 🙂

  5. Suka bangettt gaya penulisan Teh May. Dan selalu bikin kabita huhu. Dulu engga kepikiran travelling di India, baca tulisan Teteh jadi pengen ke sana, ke Nubra Valley, menikmati pemandangan dan interaksi dengan penduduk lokal.

    1. Yuk ke India Teh, aku juga suka banget, ga bosan deh. Selain negaranya gede ternyata memang unik banget, landscape maupun sejarahnya. Kalau udah kesana sekali pasti ketagihan :).

  6. Hebat emang detail ceritanya padahal udah lama berlalu. Berasa ikutan jalan-jalan dan bertemu dengan orang-orang yang disebutkan dalam cerita tiap membaca tulisan jalan-jalannya May. Andai aku bisa punya semangat nulis sedetail ini tentang jalan-jalan, kurasa aku ga akan kehabisan ide tulisan.

    Btw dari semua negeri yg dikunjungi, paling berkesan di kota mana teh?

    1. Ide tulisanku banyak banget sebenernya ni Risna, hanya ada dua penyakitnya : malas trus bilang ngga sempat haha. Yang bagian rajin ini memang harus berguru dengan Risna.
      Kayanya kalau ditanya yang paling berkesan aku ga bisa jawab, karena semua seru sih, ada ceritanya masing-masing, jadi aku semua suka Risna.

  7. Aku speechless May melihat fotonya yang indah banget!!!!!!!! Luar biasa banget pengalamannya, bukan cuma liat pemandangannya aja tapi juga kontak dengan orang-orang lokal dan kehidupan mereka. Kalau lagi kayak gitu kerasa banget ya kita beda banget dengan mereka.
    Aku pernah ke desa-desa kecil di Jerman yang rumahnya di tebing2 bukit, itu dah di Eropa aja tapi kerasa banget sebenarnya mereka tuh terpencil dan punya kehidupan mereka sendiri karena jauh dari kota besar. Jadi memang mereka ya hidup ya kerja di situ, nggak kayak kita yang tinggal di mana, kerja di kota lain…

    1. Aslinya bagus banget lho Dea, ini aku males cari foto-foto yang dari kamera, semua dari HP jadinya hehe. Cerita Dea tentang desa kecil di Jerman jadi inget film Heidy, suka banget ama ceritanya. Mereka yang tinggal di tempat terpencil ini pejuang hidup banget ya, dan rata-rata sama aja, di Indonesia, di India, di Jerman, mereka hidupnya kayanya tenang walau mungkin banyak kekurangan dari segi materi, tapi bahagia 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *