Mengapa Mendaki Gunung

Ga biasanya saya nyinyir seperti sekarang, atau malah sering ya 🙂 Yang jelas status Facebook seorang teman saya (yang ternyata saya tidak kenal dan tidak pernah berinteraksi langsung) membuat saya berpikir. Sebenarnya pertanyaan itu bukan buat saya, ga tau buat siapa, tapi yang jelas membuat pertanyaan tambahan muncul untuk diri saya sendiri dan suami.

Sederhana saja pertanyaan turunannya :  Kenapa kami mengajak anak kami – Cici mendaki gunung ?Pertanyaan lanjutan bermunculan :

  1. Apakah Cici mengerti ?
  2. Apakah saya dan suami sebagai orang tua tidak kasihan ?

Mari kita jawab satu – persatu. Bukan menjawab status tersebut, tetapi sekedar proses berpikir dari saya dan suami sebagai orang tua yang telah beberapa kali mengajak anak kami mendaki gunung. Apa sebenarnya tujuan kami ?

Cici adalah putri kami yang lahir pada tanggal 2 Juli 2009. Kami berdua kebetulan memiliki banyak kesamaan hobby dan salah satunya adalah mendaki gunung. Sejak Cici masih dalam kandungan kami berdua memiliki cita – cita ingin mengenalkan hobby kami kepada Cici. Kami yakin banyak pengalaman berharga yang bisa Cici dapatkan dengan mendaki gunung, seperti apa yang kami alami selama ini. Pengalaman yang tidak akan bisa didapat di bangku sekolah.

Pengalaman pertama Cici dengan kegiatan di luar ruang adalah berkemah di Situ Gunung, Sukabumi ketika Cici berusia 5 bulan. Hanya kami bertiga, menginap 1 malam di tenda, di tepi danau. Cici belum bisa berbicara, masih minum ASI saja, belum bisa merangkak apalagi berjalan. Tetapi kami tahu Cici bahagia. Tidurnya di dalam tenda sangat nyenyak. Ketika kami berdua mendirikan tenda ia duduk manis sambil tertawa di kursinya. Pagi harinya Cici berkenalan dengan orang – orang baru, Ibu pemilik warung di tepi Situ Gunung, hingga bapak – bapak yang hendak memancing. Cici yang extrovert.

Situ Gunung, Desember 2009

Pengalaman kedua Cici adalah berkemah di Badak Air, Ciawi. Dalam 2 minggu berturut – turut kami berkemah disana, pertama dengan tetangga rumah dan yang kedua dengan teman – teman kantor saya. Saat itu Cici berusia 9 bulan, sudah bisa bermain, merangkak dan aktif sekali. Cici tampak senang, ternyata Cici mudah akrab dengan orang lain. Para Om, Tante dan Kakak – kakak senang bermain dengan Cici. Saat itu pertama kalinya Cici mandi di sungai bersama kakak – kakak.

Badak Air, April 2009

Di ulang tahun pertama Cici kami melakukan perjalanan panjang dengan mobil : Bandung – Pantai Cikembang, Pelabuhan Ratu – Sawarna – Kasepuhan Ciptagelar – Halimun. 1 minggu perjalanan, tidur di tenda atau menumpang menginap di rumah penduduk. Mandi di laut, di sumur dan berjalan di hutan. O iya, ini perjalanan panjang Cici yang kedua, saat Cici 6 bulan kami pernah bepergian ke luar negri dengan perjalanan 2 hari di atas pesawat. Alhamdulillah Cici baik – baik saja, dan selalu ada kemudahan bersama kami.

Kasepuhan Ciptagelar dan Pantai Cikembang, Juli 2010

Ketika Cici berusia 1 tahun 10 bulan kami berkunjung ke Baduy. Saya, suami, Cici, Cep Dahlan-teman kami dan Pak Mamad-seorang guide lokal. Dua hari kami di Baduy, berkunjung ke Baduy Dalam dan menginap di Kampung Gajeboh. Cici kami gendong bergantian dengan menggunakan baby carrier merk Kelty yang kami beli ketika Cici masih berusia 7 bulan di dalam kandungan. Lagi – lagi kami kagum dengan kemampuan Cici beradaptasi, mudah mendapat teman dan ramah kepada siapa saja. Pagi itu ketika bangun tidur saya kebingungan mencari Cici, ternyata Cici sudah duduk manis di depan hawu di rumah Ibu Kisanah. Saat itu Cici sudah bisa berkomunikasi walaupun belum bisa berbicara.

Baduy, Mei 2011

Pengalaman mendaki gunung yang sebenarnya adalah ketika Cici berusia 1 tahun 11 bulan, Juni 2011. Saat itu saya dan teman – teman serta adik di KMPA Ganesha ingin mendaki Gunung Gede dalam rangka reuni. Khusus wanita. Rencana awal Cici tidak ikut, tetapi mendadak suami saya harus bekerja ke luar kota sehingga saya harus membawa Cici, tidak ada pilihan lain. 4 ibu muda, 5 anak gadis, 2 porter dan tentu saja my toddler Cici. Saya dan Deni-porter kami bergantian menggendong Cici dengan Kelty. Malam itu saya, Cici dan H tidur dalam 1 tenda di Suryakencana yang sangat dingin. Cici menggunakan jaket berlapis, kupluk, sleeping bag. Kami memastikan Cici hangat dan bisa tidur nyaman. Alhamdulillah perjalanan ini lancar. Cici berkenalan dengan banyak tante baru, sampai – sampai punya Papa baru cabang Gunung Gede. Deni sang porter dipanggil Cici dengan sebutan Papa :).

Gunung Gede, Juni 2011

Saat itu Cici masih belum banyak bicara, tapi sudah pandai berkomunikasi dan selalu aktif ceria. Ada kejadian menarik ketika kami sudah turun gunung dan beristirahat di Posko Montana. Sudah jam 9 malam dan kami ingin bergegas kembali ke penginapan kami di dekat Pasar Cipanas. Saat itu Cici sedang asik bermain dan Cici menolak pulang sampai menangis terus – menerus. Tidak ada seorangpun yang bisa membujuk. Hingga kakak-nya Deni mengajak Cici untuk tidur di kamar, ajaibnya Cici mau dan langsung diam. Akhirnya setelah Cici tertidur kami bisa menggendongnya pulang ke Cipanas.

1 bulan kemudian Cici tepat berusia 2 tahun, Juli 2011. Kami mendaki Gunung Rinjani sebagai perjalanan ulang tahun untuk Cici. Saya, suami, Cici dan 8 teman lainnya dari Jakarta – 6 diantara mereka pertama kali mendaki gunung. Kami ditemani Locker dan 2 teman lainnya dari Selong, plus 5 porter lokal. Saat itu Cici digendong oleh saya, dengan baby carrier baru merek Boba. Beratnya saat itu 13 kg. Kami naik dari Sembalun, dan mencoba naik ke puncak di hari ke-3.

Sayangnya saat itu kami kesiangan, jam 8.30 pagi dan kami  baru tiba di ketinggian 3500 an mdpl. Suami saya memutuskan untuk turun ke Plawangan bersama Cici. Akhirnya saat itu hanya saya, Cep Dahlan, Nancy dan Wahyu yang tiba di puncak, ditemani oleh Locker yang setia memberi semangat. Saat itu Cici juga belum banyak bicara, tapi kami tahu Cici senang disana. Seperti biasa Cici aktif bermain dengan Om dan Tante baru. Kedinginan ? ada solusinya tentu. Pakaian hangat berlapis, sarung tangan, kupluk dan menjaganya tidak kebasahan. Malam – malam kami sekeluarga tidur nyenyak di dalam tenda yang hangat.

Gunung Rinjani, Juli 2011

8 bulan kemudian kami berkesempatan melakukan road trip di US. 10 hari perjalanan mengunjungi beberapa National Park : Grand Canyon di Arizona, Arches di Utah dan Rocky Mountain di Colorado. Perjalanan yang melelahkan bagi kami, setiap malam berpindah tempat tidur atau bahkan tidur di mobil atau di rest area. Hotel yang kami pilih tentu bukan hotel mewah, cukuplah budget hotel dengan fasilitas seadanya.  Bulan Maret 2012 itu masih dingin, peralihan dari winter ke spring. Cici sudah banyak berbicara, berjalan sendiri dan sudah bisa ngobrol dengan kami. Beberapa tempat masih bersalju dan Cici senang sekali bermain di salju. Cici tumbuh menjadi anak yang penuh rasa ingin tahu dan tidak pernah lelah. Sepanjang hari Cici aktif mengikuti kami dan tertidur pulas di malam hari. Mulai banyak bertanya dan selalu ingin mencoba.

Archers National Park – Utah, Maret 2012

Juli 2012, gunung yang ketiga untuk Cici. Atap Sumatera kali ini, Gunung Kerinci. Saya, suami, Cici dan 7 teman dari Jakarta. 6 diantaranya adalah teman yang ikut di pendakian Rinjani 2011. Kali ini kami naik gunung bersama Johan, Heru, Sutriandi Katoh alias Om Atlet, Levi dan beberapa teman lagi dari Basecamp Kerinci di Kayu Aro. Saya menggendong Cici dengan baby carrier Boba yang sama, berat Cici kurang lebih 14.5 kg. Kali ini Cici sudah aktif berbicara dan mulai mencoba berjalan. Atas kemauannya sendiri Cici berjalan kaki dari Pos 3 ke Shelter 1. Anak Bunda memang sudah besar.

Dalam perjalanan dari Shelter 1 ke Shelter 3 kami mengalami cuaca buruk, hujan tidak berhenti, dan badai di Shelter 2. Saat itu saya, suami dan Cici berada di paling belakang. Teman – teman lainnya sudah jauh di depan. Cici memakai raincoat-nya dan kami lapis dengan raincoat saya. Sepanjang perjalanan dari Shelter 1 Cici tertidur, sedangkan saya dan suami bersusah payah berjalan menuju Shelter 3 yang jalurnya “asik”. Jam 8 malam kami baru tiba di Shelter 3. Cici segera masuk tenda dan digantikan bajunya oleh Nancy. Saya masih basah kuyub, berganti baju di tenda sebelah. Malam itu kami sekeluarga bisa beristirahat walaupun tenda kami berantakan, hujan tidak berhenti dan kelaparan. Cici tertidur nyenyak tanpa selimut dan sleeping bag, padahal saya dan suami sudah menggigil kedinginan.

Gunung Kerinci, Juli 2012

Kali ini Cici mencapai puncak 3805 m dpl. Kendala utama kali ini adalah belerang dari kawah. Menyesakkan dan membuat mata pedih. Alhamdulillah dengan bantuan dan semangat dari teman – teman kali ini hanya 2 orang yang tertinggal di bawah. Lainnya tiba di puncak bersama Cici. Apakah Cici sudah mengerti ? sepertinya iya. Ketika pulang Cici bisa bercerita bahwa Cici habis naik gunung Kerinci, Cici senang. Sejak saat itu bila melihat foto atau gambar gunung maka Cici akan bercerita : Cici juga pernah naik gunung, Gunung Kerinci.

Selain perjalanan di atas masih banyak perjalanan Cici yang lainnya. Kami pernah berlayar dengan kapal kayu yang tukang mogok selama 9 jam dari Carita ke Pulau Peucang, Ujung Kulon. Perjalanan mengerikan bagi kami orang dewasa, tetapi ternyata sangat menyenangkan untuk anak – anak. Mereka berteriak kesenangan ketika ombak besar sekali, serasa naik kora – kora. Sedangkan orang dewasa di sekitarnya pucat pasi.

November kemarin ada lagi cerita lainnya. Saya, Cici dan Ria-teman saya seharusnya naik pesawat dari Jakarta ke Lombok. Sayangnya malam itu kami ketinggalan pesawat dan akhirnya kami road trip dari Surabaya ke Mataram, mulai dari naik travel, feri, nebeng truk sampai berjam – jam menunggu di pelabuhan. Hanya kami bertiga bersama 2 carrier besar, 2 travel bag besar, 2 daypack dan 2 travel bag kecil. Cici alhamdulillah sangat tidak menyusahkan. Jam 11.40 malam kami tiba di Surabaya, sebelumnya Cici tertidur pulas di pesawat, dan saya sempat kebingungan bagaimana nanti caranya turun dari pesawat sambil menggendong Cici dan membawa beberapa tas. Alhamdulillah sesaat sesudah landing Cici terbangun dan mau berjalan sendiri. 

Jadi..apakah pertanyaan kami bisa terjawab ? 

Apakah Cici mengerti ? 

Saya kira jawabannya adalah iya. Mengerti sesuai dengan kapasitas dan pemahamannya. Cici mengerti bagaimana harus bersikap, bagaimana harus bertahan, bagaimana harus menikmati perjalanan. Menurut saya itulah yang paling penting. Mengertikah Cici mengenai mendaki gunung , mengenai hakekatnya ? Entahlah, bagi sayapun itu tidak penting. Setiap orang akan mengalami proses yang berbeda untuk mendapatkan jawabannya masing – masing. Itulah yang saya harapkan dari Cici, mengerti dengan sendirinya, pada waktunya. Semua adalah proses, perlu waktu, tidak instant.

Ketika SMA saya mulai mendaki gunung dan membaca buku-nya Norman Edwin, George F Mallory dan lainnya. Tidak ada jawaban yang memuaskan saya. George F. Mallory menjawab “Because it’s there” , ya karena gunung itu ada disana. Cukup memuaskan sebentar tapi tetap ada yang mengganjal. Memasuki bangku kuliah saya semakin aktif berkegiatan, berkunjung ke banyak tempat baru, mendapat teman – teman baru, mendapat banyak pengalaman berharga. Mengapa mendaki gunung menjadi semakin tidak penting. Yang saya tahu saya bahagia ketika bersama teman – teman berjalan bersama, mendirikan tenda, memasak, berbincang – bincang di malam hari, tersasar, tiba di puncak, berkenalan dengan penduduk setempat, melihat foto – foto perjalanan. Saya bahagia. Lelah, kehujanan, badai, kebanjiran, kelaparan, sakit, kehabisan uang dan lainnya hanyalah bumbu, saya tidak menderita. Kuliah saya yang 4.5 tahun itu bukan hanya di bangku kuliah saja, sesungguhnya saya mendapat sekolah kehidupan disana. Sekolah yang tidak pernah berakhir selama kita masih bernafas.

Saya semakin bahagia ketika pertama kali mendengar Paimo berkata : tujuan kita naik gunung adalah kembali dengan selamat. Ya, saya setuju sekali, apapun yang kita lakukan tujuannya hanyalah kembali dengan selamat. Mati konyol tidak ada dalam kamus saya, karena itu safety is always no 1, miliki ilmunya, dan persiapkan segala sesuatunya dengan baik. Puncak bukanlah tujuan, destination is nothing, journey is everything. Setiap orang mungkin akan punya alasan yang berbeda, sah – sah saja tentunya.

Apakah saya dan suami tidak kasihan ? 

Hmmm, kasihan kenapa ya ? Iseng saya mencari arti kata kasihan dalam Bahasa Indonesia. Menurut Kamus Bahasa Indonesia online, kata kasihan berasal dari kata “kasih” yang artinya perasaan sayang. Ketika diberi imbuhan “an” maka kata “kasihan” memiliki arti rasa iba hati, rasa belas kasih. Referensinya ada disini

Sebagai orang tua kandung Cici, apalagi saya sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, dan menyusui Cici maka InshaAllah kami “kasih” kepada Cici. Kami menyayanginya. Tak pernah terpikirkan membuat Cici menderita, menangis tidak pada tempatnya atau membuat Cici sakit dan susah. Kami menyayangi Cici dengan cara kami, kami “kasih” terhadap Cici.  Sebelum bepergian biasanya kami melakukan riset terlebih dahulu, bertanya, membaca dan mempersiapkan segala sesuatunya. Perjalanan yang kami lakukan bukan perjalanan serba mewah dengan fasilitas serba wah, tapi kami akan pastikan anak kami – Cici merasa nyaman, aman dan tidak kekurangan sesuatu.

Ketika mendaki gunung kami pastikan Cici memakai pakaian yang sesuai, jaket yang hangat, raincoat yang baik, tersedia dengan cukup makanan yang disukainya, dan minuman favoritnya. Kami menjaganya, teman – teman kami juga menyayangi Cici, dan Cici akan selalu jadi prioritas utama kami. Jadi ya kami kasihan terhadap Cici, tapi bukan kasihan yang berarti iba hati, tetapi lebih kepada kasihan yang berarti rasa belas kasih.

Sejauh ini Cici baik – baik saja dan saya berdoa semoga begitu seterusnya. Sungguh tidak ada niat untuk membanggakan diri atau lainnya dengan membawa Cici naik gunung. Kami hanya ingin mengenalkan kegiatan yang kami sukai kepada anak kami, itu saja. Bila dewasa kelak tentu Cici akan bisa memilih dan memilah, apakah perjalanan masa kecilnya berguna atau tidak.

Sejujurnya saya tidak suka publikasi, belakangan saya berhenti memposting foto – foto kegiatan Cici juga kegiatan keluarga kami kecuali ada keperluan khusus. Saya menolak tawaran wartawan untuk memuat cerita Cici mendaki Kerinci di media cetak. Entah mengapa jauh di lubuk hati saya merasa ada peluang untuk “riya” disana, menyombongkan diri dan lainnya. Sungguh kami tidak ingin terbawa kesana. Biarlah Cici memiliki masa kecilnya yang biasa saja, dengan sedikit bonus pengalaman yang kami berikan.

Jadi ?

Saya dan suami akan terus mengajak Cici dan anak kami kelak kemana saja. Kami percaya pengalaman adalah guru yang terbaik. Menderita itu relatif, kebahagiaan itu mutlak. 

Dear teman penulis status di atas, terimakasih telah membuat kami berrefleksi hari ini 🙂 Semoga kami bisa terus membimbing putri kami Cici, menjadi anak yang ceria, berkarakter baik, berhati mulia, sehat jasmani dan rohaninya. Amin.

Bunda dan Popo menyayangimu Nak, tumbuhlah menjadi penyejuk bagi sekitarmu

2 Comments on “Mengapa Mendaki Gunung”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *